Nilai
dan makna seni
Formulasi seni
yang terungkap dalam bentuk yang nyata dan sangat inderawi, dalam
perspektif
masyarakat awam seringkali “hanya” dimasukkan dalam kategori menghibur,
dan
merupakan pelengkap dari sebuah sisi kehidupan sosial bermasyarakat. Artinya
bisa
ada dan
bisa tidak usah ada, bila dikaitkan dengan nilai-nilai kehidupan modern yang
sering diasosiasikan
dengan hal-hal yang harus efektif dan efisien, serta jauh dari pernikpernik
yang
identik dengan apa yang disebut dengan pemborosan. Bahkan, pernah suatu
saat pada
tahun 1997 di sebuah desa di Eretan Pamanukan, seorang kuwu dengan bangga
menyatakan
bahwa di wilayahnya tak lagi ada kesenian. Di sini sang kuwu mencoba
menerjemahkan
slogan “efektif dan efisien” dengan tak memberi kesempatan adanya
sebuah
kehidupan kesenian di wilayahnya. Kita semua tahu bahwa tahun itu adalah awal
dari
krisis multidimensi di mana soal perut menjadi “satu-satunya“ prioritas
pemecahan
masalah
yang kemudian berdampak besar pada munculnya sikap ironis dari seorang
kuwu di
atas.
Hal di
atas tidaklah seutuhnya bisa dipersalahkan. Bahkan di masyarakat modern
sekalipun,
di Amerika misalnya, ada seorang teman yang tidak mau dititipi televisi di
rumahnya
sekaitan dengan alasan yang sama, yaitu efisiensi waktu. Ia tak bisa produktif
menulis
novel, yang notabene juga karya seni, karena waktunya akan banyak tersita
untuk
nongkrong di depan televisi menikmati karya-karya film mutakhir yang ditawarkan
agendanya
oleh sang pemilik televisi. Di sini karya seni memang berkaitan dengan waktu
luang yang
harus disediakan oleh seseorang untuk menikmatinya, dan bagi masyarakat
tradisional
tertentu, waktu luang yang dalam perspektif mereka kadang juga disebut
dengan
waktu sakral, memang kemudian ditetapkan justru untuk kebutuhan terlaksananya
sebuah
peristiwa seni.
Kebutuhan
akan terselenggaranya sebuah peristiwa seni/kesenian memang sangat
beragam
seiring dengan keragaman bentuk seni tersebut. Bahkan dalam kehidupan
sehari-hari
pun kita sudah didera dengan tampilan pop art yang mengejawantah dalam
berbagai billboard
iklan yang terserak di mana-mana. Ambil contoh penciptaan citra
tentang
produk minuman Coca Cola yang maknanya kemudian berkembang berlipat-lipat
dalam
berbagai perspektif kritis serta merujuk pada permasalahan keremajaan,
hedonisme,
Amerika, modernitas, imperialisme kultural, dsb. (Berger, 2006: 49).
Kekuatan
makna citrawi dari produk tersebut ternyata sangat berpengaruh pada gaya
hidup
remaja kota yang tak jauh dari pernik-pernik ubarampe kegiatan yang kemudian
menjadi
inheren dengan pencitraan produk tersebut.
Representasi
citrawi yang terjadi pun juga beragam pula; dewasa ini ada
kecenderungan
dunia ipteks mendominasinya menjadi dunia representasi konseptual dan
abstrak
atas realitas. Realitas yang kompleks yang amorf diformulasikan dalam sebuah
fenomena
hiperelis yang memukau; sebuah copy lebih indah dari aslinya. Seni, yang
memang
merupakan produk persentuhan pengalaman pribadi seorang seniman dengan
realitas
kehidupan di sekitarnya, bisa mengalamai transformasi nilai dan makna melalui
sebuah
proses baru yang ditunjang oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Lalu
bagaimana dengan
dinamika komunal yang masih kental dengan ekspresi kolektif di
masa lalu.
Di sinilah uniknya. Masih banyak bentuk formulasi seni yang belum disentuh
baik dalam
jelajah perwilayahan tertentu yang bersifat khas maupun dalam spesifikasi
wilayah
yang ditengarai oleh keterbukaan kontak ruang antar etnis, baik sebelum maupun
sesudah
adanya realita deteritorialisasi, h realita yang menafikan keterbatasan ruang
dan
waktu
dalam dunia virtual.
0 komentar:
Posting Komentar