Sebenarnya, bagaimana pandangan Islam
tentang seni? Seni merupakan ekspresi keindahan. Dan keindahan menjadi salah
satu sifat yang dilekatkan Allah pada penciptaan jagat raya ini. Allah melalui
kalamnya di Al-Qur’an mengajak manusia memandang seluruh jagat raya dengan
segala keserasian dan keindahannya. Allah berfirman:
“Maka
apakah mereka tidak melihat ke langit yang ada di atas mereka, bagaimana Kami
meninggikannya dan menghiasinya, dan tiada baginya sedikit pun retak-retak?”
[QS 50: 6].
Allah juga mengajak manusia untuk melihat
dari perspektif keindahan, bagaimana buah-buahan yang menggantung di pohon dan
bagaimana pula buah-buahan itu dimatangkan. Jika manusia memerhatikan dan
menikmati dengan pandangan yang indah, saat arak-arakan binatang ternak saat
masuk ke kandang, juga saat dilepaskan ke tempat penggembalaan, sesungguhnya
pada peristiwa itu ada unsur keindahannya.
Ajakan-ajakan kepada manusia tersebut
menunjukkan, pada dasarnya manusia dianugerahi
Allah potensi untuk menikmati dan mengekspresikan keindahan. Seni merupakan fitrah dan naluri alami manusia. Kemampuan ini yang membedakan manusia dengan makhluk yang lain. Karena itu, mustahil bila Allah melarang manusia untuk melakukan kegiatan berkesenian.
Nabi Muhammad Saw sangat menghargai
keindahan. Suatu ketika dikisahkan, Nabi menerima hadiah berupa pakaian yang
bersulam benang emas, lalu beliau mengenakannya dan kemudian naik ke mimbar.
Namun tanpa menyampaikan sesuatu apapun, Beliau turun kembali. Para sahabat
sedemikian kagum dengan baju itu, sampai mereka memegang dan merabanya. Nabi
Saw bersabda:
“Apakah
kalian mengagumi baju ini?” Mereka berkata, “Kami sama sekali belum pernah
melihat pakaian yang lebih indah dari ini.” Nabi bersabda: “Sesungguhnya
saputangan Sa’ad bin Mu’adz di surga jauh lebih indah daripada yang kalian lihat.”
[M Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an].
Imam Al Ghazali dalam Ihya Ulumuddin juga
menuliskan bahwa: “Siapa yang tidak berkesan hatinya di musim bunga dengan
kembang-kembangnya, atau oleh alat musik dan getaran nadanya, maka fitrahnya
telah mengidap penyakit parah yang sulit diobati.”
Kehati-hatian dalam Seni
Kalau memang demikian pandangan Islam
tentang seni, mengapa pada masa awal perkembangan Islam [zaman Nabi Saw dan
para sahabatnya], belum tampak jelas ekspresi kaum muslim terhadap kesenian.
Bahkan, terasa adanya banyak pembatasan-pembatasan yang menghambat perkembangan
seni? Menurut Sayyid Quthb, pada masa itu, kaum muslim masih dalam tahap
penghayatan nilai-nilai Islam dan memfokuskan pada pembersihan gagasan-gagasan
jahiliyah yang sudah meresap dalam jiwa masyarakat sejak lama. Sedangkan sebuah
karya seni lahir dari interaksi seseorang atau masyarakat dengan suatu gagasan,
menghayati dengan sempurna sampai menyatu dengan jiwanya. Karena itu, belum
banyak karya seni yang tercipta pada masa awal perkembangan Islam itu.
Pembatasan-pembatasan terhadap kesenian
karena adanya sikap kehati-hatian dari kaum Muslim. Kehatihatian itu
dimaksudkan agar mereka tidak terjerumus kepada hal-hal yang bertentangan
dengan nilai-nilai Islam yang menjadi titik perhatian pada waktu itu. M Quraish
Shihab menjelaskan bahwa Umar Ibnul Khaththab, khalifah kedua, pernah berkata,
“Umat Islam meninggalkan dua pertiga dari transaksi ekonomi karena khawatir
terjerumus ke dalam haram [riba].” Ucapan ini benar adanya, dan agaknya ia juga
dapat menjadi benar jika kalimat transaksi ekonomi diganti dengan kesenian
[Wawasan Al-Qur’an].
Atas dasar kehati-hatian ini pulalah
hendaknya dipahami hadits-hadits yang melarang menggambar atau melukis dan
memahat makhluk-makhluk hidup. Apabila seni membawa manfaat bagi manusia,
memperindah hidup dan hiasannya yang dibenarkan agama, mengabadikan nilai-nilai
luhur dan menyucikannya, serta mengembangkan serta memperhalus rasa keindahan
dalam jiwa manusia, maka sunnah Nabi mendukung, tidak menentangnya.
Karena ketika itu ia telah menjadi salah
satu nikmat Allah yang dilimpahkan kepada manusia. Demikian Muhammad Imarah
dalam bukunya Ma’âlim Al-Manhaj Al-Islâmi yang penerbitannya disponsori Dewan
Tertinggi Dakwah Islam, Al-Azhar bekerjasama dengan Al-Ma’had Al-’Âlami lil
Fikr Al-Islâmi [International Institute for Islamic Thought].
Kesenian Islam baru berkembang dan
mencapai puncak kejayaan pada saat Islam sampai di daerah-daerah Afrika Utara,
Asia Kecil, dan Eropa. Daerah-daerah tersebut
didefinisikan sebagai Persia ,
Mesir, Moor, Spanyol, Bizantium , India , Mongolia , dan Seljuk. Di
daerah-daerah tersebut, Islam membaur dengan kebudayaan setempat. Terjadilah
pertukaran nilai-nilai Islam dengan budaya dan seni yang menghasilkan ragam
seni yang baru, berbeda dengan karakter seni tempat asalnya.
Dasar Seni Islam
Seni yang didasarkan pada nilai-nilai Islam [agama/ketuhanan] inilah
yang menjadi pembeda antara seni Islam dengan ragam seni yang lain. Titus
Burckhardt, seorang peneliti berkebangsaan Swiss-Jerman mengatakan, “Seni Islam
sepanjang ruang dan waktu, memiliki identitas dan esensi yang satu. Kesatuan
ini bisa jelas disaksikan. Seni Islam memperoleh hakekat dan estetikanya dari
suatu filosofi yang transendental.” Ia menambahkan, para seniman muslim meyakini
bahwa hakekat keindahan bukan bersumber dari sang pencipta seni. Namun, keindahan karya seni diukur dari
sejauh mana karya seni tersebut bisa harmonis dan serasi dengan alam semesta.
Dengan begitu, para seniman muslim memunyai makna dan tujuan seni yang luhur
dan sakral.
Apakah seni Islam harus berbicara tentang
Islam? Sayyid Quthb dengan tegas menjawab tidak. Kesenian Islam tak harus
berbicara tentang Islam. Ia tak harus berupa nasehat langsung atau anjuran
berbuat kebajikan, bukan juga penampilan abstrak tentang aqidah. Tetapi seni
yang Islami adalah seni yang menggambarkan wujud dengan ‘bahasa’ yang indah
serta sesuai dengan fitrah manusia. Kesenian Islam membawa manusia kepada
pertemuan yang sempurna antara keindahan dan kebenaran.
Seni sebagai sarana untuk mengenal Islam
Biar bagaimanapun, salah satu
tujuan galeri tersebut adalah untuk mempertunjukkan kepada para pengunjung yang
sebagian besar orang Barat suatu gambaran yang berbeda dari dunia Islam,
gambaran yang begitu hidup tentang kecanggihan cita rasa keindahannya yang
begitu berbeda dengan gambaran umum keradikalan yang sering ditampilkan dalam
halaman muka berbagai harian.
Tentu saja, dengan pemikiran
seperti ini di kepala maka Mohammed Jameel, seorang Saudi kaya, mau menanamkan
uang sebesar $9,8 juta untuk menampilkan kembali koleksi Islami Victoria dan Albert
untuk pertama kalinya dalam setengah abad. Tempat pameran terletak di lantai
utama museum yang sekarang diberi nama Galeri Seni Islam Jameel untuk mengenang
orang tua sang dermawan.
Namun gejolak politik di Israel , Gaza ,
Lebanon , Irak
dan seterusnya hanya menggarisbawahi tantangan penggunaan masa lalu untuk
menerangi masa kini. Dengan kata lain, dapatkah 400 benda seni yang telah
dipilih dengan hati-hati, beberapa di antaranya berasal dari abad ke-11 M,
memberikan kita pandangan yang baru tentang apa yang sedang terjadi di Timur
Tengah dewasa ini?
Pertanyaan tersebut penting
karena, terutama sejak 11/9, banyak museum di Eropa dan Amerika Serikat yang
mulai menyoroti berbagai koleksi dan pameran seni Islam sebagai cara untuk
mendorong pemahaman lebih besar dan menjembatani kesenjangan antara dunia
Yahudi-Kristen dan Muslim.
Di Eropa Barat, strategi ini juga
mengesankan pengakuan atas Islam, yang karena besarnya imigrasi dari Afrika
Utara, Turki, Pakistan, dan Bangladesh, sekarang juga merupakan agama Eropa –
dan karenanya penting baik bagi orang Eropa untuk menunjukkan rasa hormat
kepada budaya Islam dan bagi para imigran Muslim dan anak keturunan mereka
untuk berbangga dengan masa lalu mereka.
Tetapi apakah kita berharap terlalu
banyak dari seni, dengan memberikannya beban politik yang begitu besar?
Namun buktinya, kebudayaan selalu
menjadi alat politik. Dan tidak terkecuali di Timur Tengah. Seperti halnya
ketergantungan seni Eropa kepada kerajaan dan gereja hingga masa pencerahan
kembali (Renaissance), seni Islam dari abad ketujuh hingga jatuhnya Kekaisaran
Ottoman setelah Perang Dunia I tidak dapat dipisahkan dari sistem kekuasaan
politik dan agama.
Bahkan dewasa ini, misalnya, Perancis tanpa malu-malu berusaha menarik perhatian negara-negara dunia ketiga dengan mendirikan Musée du Quai Branly yang bernilai $ 295 juta untuk seni rupa dari kebudayaan non-Barat. Dan, dengan sasaran umat Muslim di tanah air dan luar negeri, Louvre akan menghabiskan $ 60 juta untuk sebuah sayap bangunan baru yang ambisius, rencananya dibuka pada 2009, untuk menampung koleksi Islaminya.
TujuanVictoria
dan Albert lebih sederhana: untuk menceritakan seni Islami dengan cara yang
ringkas dan dapat dicerna – tanpa merujuk ke masa ini. Namun pendekatan ini
juga mengandung makna: dengan mengintip dari lubang kunci kesenian, kita dapat
melihat sebuah dunia yang lebih kompleks dan halus daripada teokrasi-teokrasi
yang kaku, yang menindas dan berpandangan sempit yang didukung oleh beberapa
kelompok eksremis Muslim seperti sekarang.
Selama pembangunanGaleri
Jameel , Victoria dan
Albert menampilkan sebagian dari koleksi Islaminya di Amerika Serikat, Jepang,
dan Inggris bagian utara dalam sebuah pameran keliling bertajuk "Istana
dan Masjid". Dan judul ini memberikan kerangka konseptual tentang pameran
terbarunya di sini: melayani baik istana dan masjid, seni Islam mengambil
bentuk sekuler sekaligus keagamaan.
Bahkan dewasa ini, misalnya, Perancis tanpa malu-malu berusaha menarik perhatian negara-negara dunia ketiga dengan mendirikan Musée du Quai Branly yang bernilai $ 295 juta untuk seni rupa dari kebudayaan non-Barat. Dan, dengan sasaran umat Muslim di tanah air dan luar negeri, Louvre akan menghabiskan $ 60 juta untuk sebuah sayap bangunan baru yang ambisius, rencananya dibuka pada 2009, untuk menampung koleksi Islaminya.
Tujuan
Selama pembangunan
"Karakter politik seni Islam
bangkit karena, dengan ketiadaan pendeta, peran formatif dalam pengembangannya
jatuh kepada mereka yang secara politik berkedudukan kuat," Tim Stanley,
kurator senior koleksi Timur Tengah di Victoria dan Albert, menulis dalam
sebuah katalog yang menemani pameran "Istana dan Masjid". Dengan kata
lain, seni Islam selalu mencerminkan kenyataan-kenyataan politik.
Variabel-variable ini memasukkan
dunia luar. Setelah wafatnya Nabi Muhammad pada 632 A.D., seni rupa Islam
mewarisi dua tradisi artistik yang berbeda: Mereka yang memilih Byzantium
Kristen ke barat dan Kekaisaran Sassanian ke timur. Kemudian, seiring dengan
Kekaisaran Muslim baru menyapu barat hingga ke Spanyol dan, kemudian, hingga ke
Asia, ia menyerap berbagai pengaruh baru, khususnya dari Cina.
Namun demikian, walaupun seni
Islam mencerminkan tingkah rezim-rezim yang terus berganti, dari zaman awal
Khalifah Umayyad dan Abbasid hingga yang terakhir dinasti Safavid, Qajar, dan
Ottoman. Dan di sini, larangan Islam atas seni yang menampilkan figur seseorang
diterjemahkan secara berbeda.
Seni bernafas agama menghormati
aturan tersebut tanpa kecuali, dengan mengandalkan kutipan kaligrafi dari Al
Qur'an dan bentuk abstrak, sering kali bentuk geometris dan ornamentasi. Tetapi
seni sekuler, termasuk di dalamnya benda-benda yang bermanfaat seperti
permadani, vas keramik, peti gading, kendi kaca, dan metal, sering menampilkan
bentuk tanaman dan hewan. Beberapa penguasa Muslim bahkan memesan potret mereka
sendiri. Dan walaupun kaligrafi tetap penting, ia juga menggunakan bait-baik
puisi selain
ayat-ayat Al Qur'an.
ayat-ayat Al Qur'an.
Eklektisisme dengan baik
tergambarkan dalam pilihan kecil dari 10.000 koleksi benda seni Islam Victoria dan Albert.
Galeri Jameel sendiri telah dirancang dengan menampilkan permadani yang dikenal
dengan sebutan Ardabil , yang oleh museum
digambarkan sebagai "permadani tertua di dunia." Berukuran 36 kali 16
kaki, atau sekitar 11 kali 5 meter, dan terdiri atas 30 juta ikatan tangan,
permadani tersebut dibuat pada sektitar 1539-1540 M untuk Masjid Ardabil di
barat laut Iran.
Di masa lalu, permadani tersebut
tergantung secara vertikal dan sulit untuk dinikmati. Sekarang, ia terbentang
di tengah galeri dan diletakkan di dalam suatu bingkai yang dibuat khusus
dengan pencahayaan yang tepat. Sebagai permadani yang digunakan untuk
beribadat, rancangannya yang rumit dengan menggunakan 10 warna tidak
menampilkan figur apapun sama sekali. Sebaliknya, tergantung tidak jauh,
terdapat sehelai permadani yang dikenal sebagai permadani Chelsea, juga berasal
dari abad ke-16 M Persia, yang tampak hidup dengan bunga-bungaan, buah-buahan,
dan hewan, seperti membangkitkan kesan surga di bumi.
Yang lebih tidak terduga adalah sebuah jubah Kristen dari abad ke-17 M yang menggambarkan penyaliban, yang dibuat dalamgaya
seni rupa Islam untuk digunakan oleh para pendeta Armenia
yang hidup di kota
Isfahan di Iran. Ini juga mengingatkan kita bahwa dunia Islam memiliki warga
beragama Kristen dalam jumlah besar, demikian juga Yahudi.
Benda-benda lain tidak membutuhkan penjelasan untuk dikagumi: sebuah mangkuk batu kristal abad ke-11 M dari Mesir; sebuah lampu masjid tembikar Iznik abad ke-16 M dari Istanbul; sebuah mangkuk abad ke-15 M yang menggambarkan sebuah kapal Portugis yang sedang berlayar yang dibuat di Spanyol dengan menggunakan teknik pengilapan yang diciptakan di Irak berabad-abad sebelumnya; sebuah mimbar kayu setinggi 19 kaki yang dibuat pada akhir abad ke-15 M untuk sebuah masjid di Kairo.
Yang lebih tidak terduga adalah sebuah jubah Kristen dari abad ke-17 M yang menggambarkan penyaliban, yang dibuat dalam
Benda-benda lain tidak membutuhkan penjelasan untuk dikagumi: sebuah mangkuk batu kristal abad ke-11 M dari Mesir; sebuah lampu masjid tembikar Iznik abad ke-16 M dari Istanbul; sebuah mangkuk abad ke-15 M yang menggambarkan sebuah kapal Portugis yang sedang berlayar yang dibuat di Spanyol dengan menggunakan teknik pengilapan yang diciptakan di Irak berabad-abad sebelumnya; sebuah mimbar kayu setinggi 19 kaki yang dibuat pada akhir abad ke-15 M untuk sebuah masjid di Kairo.
Relasi antara
Islam dan budaya
Islam
adalah agama yang diturunkan kepada manusia sebagai rohmat bagi alam semesta.
Ajaran-ajarannya selalu membawa kemaslahatan bagi kehidupan manusia di dunia
ini. Allah swt sendiri telah menyatakan hal ini, sebagaimana yang tersebut
dalam ( QS Toha : 2 ) :
“ Kami tidak menurunkan Al Qur’an ini kapadamu agar
kam menjadi susah “.
Artinya bahwa umat manusia yang mau mengikuti
petunjuk Al Qur’an ini, akan dijamin oleh Allah bahwa kehidupan mereka akan
bahagia dan sejahtera dunia dan akherat. Sebaliknya siapa saja yang membangkang
dan mengingkari ajaran Islam ini, niscaya dia akan mengalami kehidupan yang
sempit dan penuh penderitaan.
Ajaran-ajaran
Islam yan penuh dengan kemaslahatan bagi manusia ini, tentunya mencakup segala
aspek kehidupan manusia. Tidak ada satupun bentuk kegiatan yang dilakukan
manusia, kecuali Allah telah meletakkan aturan-aturannya dalam ajaran Islam
ini. Kebudayaan adalah salah satu dari sisi pentig dari kehidupan manusia, dan
Islampun telah mengatur dan memberikan batasan-batasannya.Tulisan di bawah ini
berusaha menjelaskan relasi antara Islam dan budaya. Walau singkat
mudah-mudahan memberkan sumbangan dalam khazana pemikian Islam.
Arti dan Hakekat
Kebudayaan
Di
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia hal. 149, disebutkan bahwa: “ budaya “
adalah pikiran, akal budi, adat istiadat. Sedang “ kebudayaan” adalah hasil
kegiatan dan penciptaan batin ( akal budi ) manusia, seperti kepercayaan,
kesenian dan adat istiadat. Ahli sosiologi mengartikan kebudayaan dengan
keseluruhan kecakapan ( adat, akhlak, kesenian , ilmu dll). Sedang ahli sejarah
mengartikan kebudaaan sebagai warisan atau tradisi. Bahkan ahli Antropogi melihat
kebudayaan sebagai tata hidup, way of life, dan kelakuan.
Definisi-definisi tersebut menunjukkan bahwa jangkauan kebudayaan sangatlah
luas. Untuk memudahkan pembahasan, Ernst Cassirer membaginya
menjadi lima aspek : 1. Kehidupan Spritual 2. Bahasa dan Kesustraan 3. Kesenian
4. Sejarah 5. Ilmu Pengetahuan.
Aspek kehidupan
Spritual, mencakup kebudayaan fisik, seperti sarana ( candi, patung nenek
moyang, arsitektur) , peralatan ( pakaian, makanan, alat-alat upacara). Juga
mencakup sistem sosial, seperti upacara-upacara ( kelahiran, pernikahan,
kematian )
Adapun aspek
bahasa dan kesusteraan mencakup bahasa daerah, pantun, syair, novel-novel.
Aspek seni dapat
dibagi menjadi dua bagian besar yaitu ; visual arts dan performing arts, yang mencakup ; seni rupa ( melukis), seni pertunjukan
( tari, musik, ) Seni Teater ( wayang ) Seni Arsitektur ( rumah,bangunan ,
perahu ). Aspek ilmu pengetahuan meliputi scince ( ilmu-ilmu
eksakta) dan humanities ( sastra,
filsafat kebudayaan dan sejarah ).
Hubungan Islam
dan Budaya
Untuk
mengetahui sejauh mana hubungan antara agama ( termasuk Islam ) dengan budaya,
kita perlu menjawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini : mengapa manusia
cenderung memelihara kebudayaan, dari manakah desakan yang menggerakkan manusia
untuk berkarya, berpikir dan bertindak ? Apakah yang mendorong mereka untuk
selalu merubah alam dan lingkungan ini menjadi lebih baik ?
Sebagian ahli
kebudayaan memandang bahwa kecenderungan untuk berbudaya merupakan dinamik
ilahi. Bahkan menurut Hegel, keseluruhan
karya sadar insani yang berupa ilmu, tata hukum, tatanegara, kesenian, dan
filsafat tak lain daripada proses realisasidiri dari roh ilahi. Sebaliknya
sebagian ahli, seperti Pater Jan Bakker, dalam bukunya
“Filsafat Kebudayaan” menyatakan bahwa tidak ada hubungannya antara agama dan
budaya, karena menurutnya, bahwa agama merupakan keyakinan hidup rohaninya
pemeluknya, sebagai jawaban atas panggilan ilahi. Keyakinan ini disebut Iman,
dan Iman merupakan pemberian dari Tuhan, sedang kebudayaan merupakan karya manusia.
Sehingga keduanya tidak bisa ditemukan. Adapun menurut para ahli Antropologi,
sebagaimana yang diungkapkan oleh Drs. Heddy S. A. Putra, MA bahwa agama
merupakan salah satu unsur kebudayaan. Hal itu, karena para ahli Antropologi
mengatakan bahwa manusia mempunyai akal-pikiran dan mempunyai sistem
pengetahuan yang digunakan untuk menafsirkan berbagai gejala serta
simbol-simbol agama. Pemahaman manusia sangat terbatas dan tidak mampu mencapai
hakekat dari ayat-ayat dalam kitab suci masing- masing agama. Mereka hanya
dapat menafsirkan ayat-ayat suci tersebut sesuai dengan kemampuan yang ada.
Di sinilah, ,
bahwa agama telah menjadi hasil kebudayaan manusia. Berbagai tingkah laku
keagamaan, masih menurut ahli antropogi,bukanlah diatur oleh ayat- ayat dari
kitab suci, melainkan oleh interpretasi mereka terhadap ayat-ayat suci
tersebut.
Dari keterangan
di atas, dapat disimpulkan bahwa para ahli kebudayaan mempunyai pendapat yang
berbeda di dalam memandang hubungan antara agama dan kebudayaan. Kelompok
pertama menganggap bahwa Agama merupakan sumber kebudayaaan atau dengan kata
lain bahwa kebudayaan merupakan bentuk nyata dari agama itu sendiri. Pendapat
ini diwakili oleh Hegel. Kelompok
kedua, yang di wakili oleh Pater Jan Bakker, menganggap
bahwa kebudayaan tidak ada hubungannya sama sekali dengan agama. Dan kelompok
ketiga, yeng menganggap bahwa agama merupakan bagian dari kebudayaan itu
sendiri.
Untuk melihat
manusia dan kebudayaannya, Islam tidaklah memandangnya dari satu sisi saja.
Islam memandang bahwa manusia mempunyai dua unsur penting, yaitu unsur tanah
dan unsur ruh yang ditiupkan Allah kedalam tubuhnya. Ini sangat terlihat jelas
di dalam firman Allah Qs As Sajdah 7-9 :
“ ( Allah)-lah
Yang memulai penciptaan manusia dari tanah, kemudian Dia menciptakan
keturunannya dari saripati air yan hina ( air mani ). Kemudian Dia
menyempurnakan dan meniupkan ke dalam ( tubuh )-nya roh ( ciptaan)-Nya “
Selain
menciptakan manusia, Allah swt juga menciptakan makhluk yang bernama Malaikat,
yang hanya mampu mengerjakan perbuatan baik saja, karena diciptakan dari unsur
cahaya. Dan juga menciptakan Syetan atau Iblis yang hanya bisa berbuat jahat ,
karena diciptkan dari api. Sedangkan manusia, sebagaimana tersebut di atas,
merupakan gabungan dari unsur dua makhluk tersebut.
Dalam
suatu hadits disebutkan bahwa manusia ini mempunyai dua pembisik ; pembisik
dari malaikat , sebagi aplikasi dari unsur ruh yang ditiupkan Allah, dan
pembisik dari syetan, sebagai aplikasi dari unsur tanah. Kedua unsur yang
terdapat dalam tubuh manusia tersebut, saling bertentangan dan tarik menarik.
Ketika manusia melakukan kebajikan dan perbuatan baik, maka unsur malaikatlah
yang menang, sebaliknya ketika manusia berbuat asusila, bermaksiat dan membuat
kerusakan di muka bumi ini, maka unsur syetanlah yang menang. Oleh karena itu,
selain memberikan bekal, kemauan dan kemampuan yang berupa pendengaran,
penglihatan dan hati, Allah juga memberikan petunjuk dan pedoman, agar manusia
mampu menggunakan kenikmatan tersebut untuk beribadat dan berbuat baik di muka
bumi ini.
Allah
telah memberikan kepada manusia sebuah kemampuan dan kebebasan untuk berkarya,
berpikir dan menciptakan suatu kebudayaan. Di sini, Islam
mengakui bahwa budaya merupakan hasil karya manusia. Sedang agama adalah
pemberian Allah untuk kemaslahatan manusia itu sendiri. Yaitu suatu pemberian
Allah kepada manusia untuk mengarahkan dan membimbing karya-karya manusia agar
bermanfaat, berkemajuan, mempunyai nilai positif dan mengangkat harkat manusia.
Islam mengajarkan kepada umatnya untuk selalu beramal dan berkarya, untuk
selalu menggunakan pikiran yang diberikan Allah untuk mengolah alam dunia ini
menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi kepentingan manusia. Dengan demikian,
Islam telah berperan sebagai pendorong manusia untuk “ berbudaya “. Dan dalam
satu waktu Islamlah yang meletakkan kaidah, norma dan pedoman. Sampai disini,
mungkin bisa dikatakan bahwa kebudayaan itu sendiri, berasal dari agama. Teori
seperti ini, nampaknya lebih dekat dengan apa yang dinyatakan Hegel di atas.
Sikap Islam
terhadap Kebudayaan
Islam, sebagaimana telah diterangkan di atas, datang untuk mengatur dan
membimbing masyarakat menuju kepada kehidupan yang baik dan seimbang. Dengan
demikian Islam tidaklah datang untuk menghancurkan budaya yang telah dianut
suatu masyarakat, akan tetapi dalam waktu yang bersamaan Islam menginginkan
agar umat manusia ini jauh dan terhindar dari hal-hal yang yang tidak
bermanfaat dan membawa madlarat di dalam kehidupannya, sehingga Islam perlu
meluruskan dan membimbing kebudayaan yang berkembang di masyarakat menuju
kebudayaan yang beradab dan berkemajuan serta mempertinggi derajat kemanusiaan.
Prinsip semacam ini, sebenarnya telah menjiwai isi Undang-undang Dasar
Negara Indonesia, pasal 32, walaupun secara praktik dan perinciannya terdapat
perbedaan-perbedaan yang sangat menyolok. Dalam penjelasan UUD pasal 32,
disebutkan : “ Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya dan
persatuan, dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang
dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta
mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Idonesia “.
Dari situ, Islam telah membagi budaya menjadi tiga macam :
Pertama :
Kebudayaan yang tidak bertentangan dengan Islam.
Dalam kaidah
fiqh disebutkan : “ al adatu muhakkamatun “
artinya bahwa adat istiadat dan kebiasaan suatu masyarakat, yang merupakan
bagian dari budaya manusia, mempunyai pengaruh di dalam penentuan hukum. Tetapi
yang perlu dicatat, bahwa kaidah tersebut hanya berlaku pada hal-hal yang belum
ada ketentuannya dalam syareat, seperti ; kadar besar kecilnya mahar dalam
pernikahan, di dalam masyarakat Aceh, umpamanya, keluarga wanita biasanya,
menentukan jumlah mas kawin sekitar 50-100 gram emas. Dalam Islam budaya itu
syah-syah saja, karena Islam tidak menentukan besar kecilnya mahar yang harus
diberikan kepada wanita. Menentukan bentuk bangunan Masjid, dibolehkan memakai
arsitektur Persia, ataupun arsitektur Jawa yang berbentuk Joglo.
Untuk hal-hal yang sudah ditetapkan ketentuan dan kreterianya di dalam
Islam, maka adat istiadat dan kebiasaan suatu masyarakat tidak boleh dijadikan
standar hukum. Sebagai contoh adalah apa yang di tulis oleh Ahmad Baaso dalam sebuah harian yang
menyatakan bahwa menikah antar agama adalah dibolehkan dalam Islam dengan dalil
“ al adatu muhakkamatun “
karena nikah antar agama sudah menjadi budaya suatu masyarakat, maka dibolehkan
dengan dasar kaidah di atas. Pernyataan seperti itu tidak benar, karena Islam
telah menetapkan bahwa seorang wanita muslimah tidak diperkenankan menikah
dengan seorang kafir.
Kedua :
Kebudayaan yang sebagian unsurnya bertentangan dengan Islam , kemudian di “
rekonstruksi” sehingga menjadi Islami.Contoh yang paling jelas, adalah tradisi
Jahiliyah yang melakukan ibadah haji dengan cara-cara yang bertentangan dengan
ajaran Islam , seperti lafadh “ talbiyah “ yang
sarat dengan kesyirikan, thowaf di Ka’bah dengan telanjang. Islam datang untuk
meronstruksi budaya tersebut, menjadi bentuk “ Ibadah” yang telah ditetapkan
aturan-aturannya. Contoh lain adalah kebudayaan Arab untuk melantukan
syair-syair Jahiliyah. Oleh Islam kebudayaan tersebut tetap dipertahankan,
tetapi direkonstruksi isinya agar sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Ketiga:
Kebudayaan yang bertentangan dengan Islam.
Seperti, budaya
“ ngaben “ yang dilakukan oleh masyarakat Bali. Yaitu upacara pembakaran mayat
yang diselenggarakan dalam suasana yang meriah dan gegap gempita, dan secara
besar-besaran. Ini dilakukan sebagai bentuk penyempurnaan bagi orang yang
meninggal supaya kembali kepada penciptanya. Upacara semacam ini membutuhkan
biaya yang sangat besar. Hal yang sama juga dilakukan oleh masyarakat
Kalimantan Tengah dengan budaya “tiwah“ , sebuah upacara pembakaran mayat.
Bedanya, dalam “ tiwah” ini dilakukan pemakaman jenazah yang berbentuk perahu
lesung lebih dahulu. Kemudian kalau sudah tiba masanya, jenazah tersebut akan
digali lagi untuk dibakar. Upacara ini berlangsung sampai seminggu atau lebih.
Pihak penyelenggara harus menyediakan makanan dan minuman dalam jumlah yang
besar , karena disaksikan oleh para penduduk dari desa-desa dalam daerah yang
luas. Di daerah Toraja, untuk memakamkan orang yan meninggal, juga memerlukan
biaya yang besar. Biaya tersebut digunakan untuk untuk mengadakan hewan kurban
yang berupa kerbau. Lain lagi yang dilakukan oleh masyarakat Cilacap, Jawa
tengah. Mereka mempunyai budaya “ Tumpeng Rosulan “, yaitu berupa makanan yang
dipersembahkan kepada Rosul Allah dan tumpeng lain yang dipersembahkan kepada
Nyai Roro Kidul yang menurut masyarakat setempat merupakan penguasa Lautan
selatan ( Samudra Hindia ).
Hal-hal di atas merupakan sebagian contoh kebudayaan yang bertentangan
dengan ajaran Islam, sehingga umat Islam tidak dibolehkan mengikutinya. Islam
melarangnya, karena kebudayaan seperti itu merupakan kebudayaan yang tidak
mengarah kepada kemajuan adab, dan persatuan, serta tidak mempertinggi derajat
kemanusiaan bangsa Indonesia, sebaliknya justru merupakan kebudayaan yang
menurunkan derajat kemanusiaan. Karena mengandung ajaran yang
menghambur-hamburkan harta untuk hal-hal yang tidak bermanfaat dan menghinakan
manusia yang sudah meninggal dunia.
Dalam hal ini al Kamal Ibnu al Himam, salah satu ulama besar madzhab
hanafi mengatakan : “ Sesungguhnya nash-nash syareat jauh lebih kuat daripada
tradisi masyarakat, karena tradisi masyarakat bisa saja berupa kebatilan yang
telah disepakati, seperti apa yang dilakukan sebagian masyarakat kita hari ini,
yang mempunyai tradisi meletakkan lilin dan lampu-lampu di kuburan khusus pada
malam- malam lebaran. Sedang nash syareat, setelah terbukti ke-autentikannya,
maka tidak mungkin mengandung sebuah kebatilan. Dan karena tradisi, hanyalah
mengikat masyarakat yang menyakininya, sedang nash syare’at mengikat manusia
secara keseluruhan., maka nash jauh lebih kuat. Dan juga, karena tradisi
dibolehkan melalui perantara nash, sebagaimana yang tersebut dalam hadits : “
apa yang dinyatakan oleh kaum muslimin baik, maka sesuatu itu baik “
0 komentar:
Posting Komentar