2.1.1.
Al-Qur’an
Ditinjau dari segi kebahasaan (etimologi),
Al-Qur’an berasal dari bahasa Arab yang berarti "bacaan" atau
"sesuatu yang dibaca berulang-ulang". Kata Al-Qur’an adalah bentuk
kata benda (masdar) dari kata kerja qara'a yang artinya membaca. Konsep
pemakaian kata ini dapat juga dijumpai pada salah satu surat Al-Qur’an sendiri yakni pada ayat 17
dan 18 Surat Al-Qiyamah yang artinya:
“Sesungguhnya
mengumpulkan Al-Qur’an (di dalam dadamu) dan (menetapkan) bacaannya (pada
lidahmu) itu adalah tanggungan Kami. (Karena itu,) jika Kami telah membacakannya,
hendaklah kamu ikuti {amalkan} bacaannya”
Al-Qur’an merupakan kitab suci umat
Islam yang diturunkan Allah kepada nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril.
Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur dalam kurun waktu 23 tahun.
Al-Qur’an merupakan kumpulan wahyu sekaligus sebagai mukjizat Nabiullah yang
terbesar yang hukumnya akan senantiasa berlaku hingga akhir zaman.
Penulisan (pencatatan dalam bentuk
teks) Al-Qur'an sudah dimulai sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Kemudian
transformasinya menjadi teks yang dijumpai saat ini selesai dilakukan pada
zaman khalifah Utsman bin Affan.
Pada masa ketika Nabi Muhammad SAW
masih hidup, terdapat beberapa orang yang ditunjuk untuk menuliskan Al Qur'an
yakni Zaid bin Tsabit, Ali bin Abi Talib, Muawiyah bin Abu Sufyan dan Ubay bin
Kaab. Sahabat yang lain juga kerap menuliskan wahyu tersebut walau tidak
diperintahkan. Media penulisan yang digunakan saat itu berupa pelepah kurma,
lempengan batu, daun lontar, kulit atau daun kayu, pelana, potongan tulang
belulang binatang. Di samping itu banyak juga sahabat-sahabat langsung
menghafalkan ayat-ayat Al-Qur'an setelah wahyu diturunkan.
Pada masa kekhalifahan Abu Bakar,
terjadi beberapa pertempuran (dalam perang yang dikenal dengan nama perang
Ridda) yang mengakibatkan tewasnya beberapa penghafal Al-Qur'an dalam jumlah
yang signifikan. Umar bin Khattab yang saat itu merasa sangat khawatir akan
keadaan tersebut lantas meminta kepada Abu Bakar untuk mengumpulkan seluruh
tulisan Al-Qur'an yang saat itu tersebar di antara para sahabat. Abu Bakar
lantas memerintahkan Zaid bin Tsabit sebagai koordinator pelaksaan tugas
tersebut. Setelah pekerjaan tersebut selesai dan Al-Qur'an tersusun secara rapi
dalam satu mushaf, hasilnya diserahkan kepada Abu Bakar. Abu Bakar menyimpan
mushaf tersebut hingga wafatnya kemudian mushaf tersebut berpindah kepada Umar
sebagai khalifah penerusnya, selanjutnya mushaf dipegang oleh anaknya yakni
Hafsah yang juga istri Nabi Muhammad SAW.
Pada masa pemerintahan khalifah ke-3
yakni Utsman bin Affan, terdapat keragaman dalam cara pembacaan Al-Qur'an
(qira'at) yang disebabkan oleh adanya perbedaan dialek (lahjah) antar suku yang
berasal dari daerah berbeda-beda. Hal ini menimbulkan kekhawatiran Utsman
sehingga ia mengambil kebijakan untuk membuat sebuah mushaf standar (menyalin
mushaf yang dipegang Hafsah) yang ditulis dengan sebuah jenis penulisan yang baku . Standar tersebut,
yang kemudian dikenal dengan istilah cara penulisan (rasam) Utsmani yang
digunakan hingga saat ini. Bersamaan dengan standarisasi ini, seluruh mushaf
yang berbeda dengan standar yang dihasilkan diperintahkan untuk dimusnahkan
(dibakar). Dengan proses ini Utsman berhasil mencegah bahaya laten terjadinya
perselisihan di antara umat Islam di masa depan dalam penulisan dan pembacaan
Al-Qur'an.
Menurut Syaikh Manna' Al-Qaththan
dalam Mahabits fi 'Ulum Al Qur'an, keterangan ini menunjukkan bahwa apa
yang dilakukan Utsman telah disepakati oleh para sahabat. Demikianlah
selanjutnya Utsman mengirim utusan kepada Hafsah untuk meminjam mushaf Abu
Bakar yang ada padanya. Lalu Utsman memanggil Zaid bin Tsabit Al-Anshari dan
tiga orang Quraish, yaitu Abdullah bin Az-Zubair, Said bin Al-Ash dan
Abdurrahman bin Al-Harits bin Hisyam. Ia memerintahkan mereka agar menyalin dan
memperbanyak mushaf, dan jika ada perbedaan antara Zaid dengan ketiga orang
Quraish tersebut, hendaklah ditulis dalam bahasa Quraish karena Al Qur'an turun
dalam dialek bahasa mereka. Setelah mengembalikan lembaran-lembaran asli kepada
Hafsah, ia mengirimkan tujuh buah mushaf, yaitu ke Mekkah, Syam, Yaman,
Bahrain, Bashrah, Kufah, dan sebuah ditahan di Madinah (mushaf al-Imam).
Al-Qur’an adalah sumber hukum Islam
yang pertama dan utama. Ia menjadi rujukan pertama dalam hukum dan peraturan
perundangan Islam. Al-Qur’an terdiri dari 30 juz yang terdiri dari 114 surat dan memiliki 6666
ayat secara keseluruhan. Sedangkan menurut tempat diturunkannya, setiap surat dapat dibagi atas surat-surat Makkiyah (surat Mekkah) dan Madaniyah (surat Madinah). Pembagian ini berdasarkan
tempat dan waktu penurunan surat dan ayat
tertentu di mana surat-surat yang turun sebelum Nabiullah SAW hijrah ke Madinah
digolongkan surat Makkiyah sedangkan setelahnya
tergolong surat
Madaniyah. Pembagian berdasar fase sebelum dan sesudah hijrah ini lebih tepat,
sebab ada surat
Madaniyah yang turun di Mekkah.
Sebagai seorang muslim, kita wajib
percaya dan meyakini kebenaran yang terkandung dalam Al-Qur’an. Kita tidak
boleh mengambil hukum Islam yang utama selain Al-Qur’an. Jika suatu fatwa atau
hukum yang ada bertentangan dengan apa yang terkandung dalam Al-Qur’an maka
dapat disimpulkan kalau hukum tersebut adalah salah. Tidak seperti kitab-kitab
samawi terdahulu, Allah sendiri yang akan menjaga keaslian dan kemurnian isi
kandungan Qur’an sampai akhir zaman nanti, sehingga Al-Qur’an akan tetap
senantiasa asli.
Upaya Penerjemahan dan Penafsiran Al-Qur’an
Upaya-upaya untuk mengetahui isi dan
maksud Al Qur’an telah menghasilkan proses penerjemahan (literal) dan
penafsiran (lebih dalam, mengupas makna) dalam berbagai bahasa. Namun demikian
hasil usaha tersebut dianggap sebatas usaha manusia dan bukan usaha untuk
menduplikasi atau menggantikan teks yang asli dalam bahasa Arab. Kedudukan
terjemahan dan tafsir yang dihasilkan tidak sama dengan Al-Qur’an itu sendiri.
Terjemahan Al-Qur’an adalah hasil
usaha penerjemahan secara literal teks Al-Qur’an yang tidak dibarengi dengan
usaha interpretasi lebih jauh. Terjemahan secara literal tidak boleh dianggap
sebagai arti sesungguhnya dari Al-Qur’an. Sebab Al-Qur’an menggunakan suatu
lafazh dengan berbagai gaya
dan untuk suatu maksud yang bervariasi; terkadang untuk arti hakiki, terkadang
pula untuk arti majazi (kiasan) atau arti dan maksud lainnya.
Upaya penafsiran Al-Qur’an telah
berkembang sejak semasa hidupnya Nabi Muhammad, saat itu para sahabat tinggal
menanyakan kepada sang Nabi jika memerlukan penjelasan atas ayat tertentu.
Kemudian setelah wafatnya Nabi Muhammad hingga saat ini usaha menggali lebih
dalam ayat-ayat Al-Qur’an terus berlanjut. Pendekatan (metodologi) yang
digunakan juga beragam, mulai dari metode analitik, tematik, hingga
perbandingan antar ayat. Corak yang dihasilkan juga beragam, terdapat tafsir
dengan corak sastra-bahasa, sastra-budaya, filsafat dan teologis bahkan corak
ilmiah.
0 komentar:
Posting Komentar