.
Perkataan
dinamisme berasal dari kata yang terdapat dalam bahasa Yunani, yaitu, dunamos
dan diinggriskan menjadi dynamic yang umumnya diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia dengan kekuatan, kekuasaan atau khasiat dan dapat juga
diterjemahkan dengan daya.
Selanjutnya
dinamisme ada yang mengartikan dengan “sejenis paham dan perasaan keagamaan
yang terdapat diberbagai bagian dunia, pada berjenis-jenis bangsa dan menunjukkan
banyaknya persamaan-persamaan”. demikian Honig mengartikannya. Dr. Harun Nasution
tidak mendefenisikan dinamisme secara tegas hanya menerangkan bahwa “bagi
manusia premitif, yang tingkat kebudayaannya masih rendah sekali, tiap-tiap
benda yang berada di sekelilingnya bisa mempunyai kekuatan batin yang
misterius”.
Dalam
Ensiklopedi umum dijumpai defenisi dinamisme sebagai kepercayaan keagamaan
premitif pada zaman sebelum kedatangan agama Hindu di Indonesia. Dinamisme
disebut juga preanismisme, yang mengajarkan bahwa tiap-tiap benda atau
makhluk mempunyai mana (percaya adanya kekuatan yang maha yang berada
dimana-mana).
T.S.G. Mulia
menerangkan dinamisme sebagai suatu kepercayaan bahwa pada berbagai benda
terdapat suatu kekuatan atau kesaktian, misalnya dalam api, batu-batu,
tumbuh-tumbuhan, pada beberapa hewan dan juga manusia.
Dinamisme
sendiri dapat juga diartikan lebih lanjut sebagai kepercayaan kepada suatu daya
kekuatan atau kekuasaan yang teramat dan tidak pribadi, yang dianggap halus
maupun berjasad yang dapat dimiliki maupun tidak dapat dimiliki oleh benda,
binatang dan manusia.
Kalau kita
pindah dari teori kekuatan luar biasa seperti yang dikemukan oleh Max Muller
(1823 - 1900) dalam bukunya The Growth of Religion (1880), maka sebenarnya
dalam Al-Qur’an banyak kita dapati menyebutkan gejala-gejala alam yang
mendasyat dan luar biasa.
Gejala-gejala
yang luar biasa ini mungkin juga ada diisyaratkan dalam Al-Qur’an seperti
terdapat dari ayat-ayat berikut :
1.
Diantar
tanda adanya Tuhan ialah dia memperlihatkan kepada engkau sekalian kilat, untuk
menimbulkan ketakutan dan harapan (Q. 30 : 24).
2.
Guntur
menyucikan keagungan Tuhan dan Malaikat-malaikat juga, karena takut kepada-Nya,
dan Tuhan menurunkan petir-Nya kemudian menimpakan kepada siapa yang
dikehendaki-Nya (Q. 13 : 13).
Bahkan Al-Qur’an
tidak hanya mencukupkan dengan mengingatkan peristiwa-peristiwa yang mendasyat
dan terjadi benar-benar, tetapi Al-Qur’an juga memperingatkan
kejadian-kejadian mendatang sewaktu-waktu atau hal-hal yang mungkin terjadi
tanpa dinantikan. Antara lain disebut dalam ayat berikut ini :
“Tidaklah mereka
melihat apa yang ada di depan dan di belakang mereka, berupa langit dan bumi.
Kalau kami menghendaki tentu kami membalikkan bumi di atas mereka, atau kami
jatuhkan atas mereka gumpalan-gumpalan dari langit”.
Agama dalam arti
obyektif ialah segala apa yang kita percayai, sedang agama dalam arti subyektif
ialah dengan cara bagaimana kita berdiri di hadapan Tuhan dan bagaimana kita
harus berkelakuan mentaati segala perintah-Nya dan meninggalkan segala
larangan-Nya.
Dalam uraian
tentang dinamisme terdapat beberapa pengertian atau defenisi yang diberikan
terhadap dinamisme itu yang menghubungkannya langsung dengan agama. Ada yang
mengatakan dinamisme sebagai sejenis paham dan perasaan keagamaan, ada juga
yang mengatakan sebagai kepercayaan keagamaan dan juga sebagai salah satu macam
bentuk struktur dari agama premitif.
Semua pengertian
ini memperlihatkan suatu sikap yang sama yaitu keragu-raguan dalam menetapkan apakah
dinamisme itu termasuk agama atau bukan, dengan kata lain orang tidak berani
(tentu dengan alasan-alasan yang objektif) berkata bahwa dinamisme itu adalah
agama atau sebaliknya, dinamisme itu bukan agama.
Kembali kepada
dinamisme, maka dinamisme timbul dari perasaan takjub, takut dan merasa bahwa
dirinya kecil sebagai manusia dan bergantung kepada daya-daya kekuatan
sekitarnya. Mereka melihat sesuatu yang bersifat ilahi di dunia ini, tapi tidak
dilukiskannya dalam pikiran sebagai sesuatu yang berpribadi.
Oleh sebab itu
selamanya tidak terjadi hubungan engkau dan aku, tidak ada hubungan kepribadian
antara dia dengan benda pujaannya. Sebab itu segala pengertian khusus yang ada
di dalam agama seperti do’a, kurban, puasa dan sebagainya itu dalam arti tertentu,
dalam dinamisme diubah bentuknya. Do’a menjadi mantera, suatu perbuatan yang
mengandung daya kekuatan dan menimbulkan keajaiban-keajaiban, hilang sifatnya
memohonnya kepada Allah. Do’a menjadi rumus yang sakti, yang di Jawa disebut
Japamantra. Kurban menjadi suatu perbuatan magis yang mengeluarkan daya
kekuatan sendiri, lepas dari ikatan ketuhanan. Begitu juga puasa diganti dengan
tarak atau bertapa untuk mendapatkan daya kekuatan yang luar biasa.
Di dalam
dinamisme pemujaan dan takut kepada daya-daya gaib yang luar biasa yang
terdapat di dunia dan pada benda-benda itu dapat dibandingkan dengan agama
pagan (agama suku, agam daerah atau agama etnis-premitif). Akan tetapi jika
pemujaan itu berbalik menjadi praktek magis, maka dia menjadi lain sama sekali,
karena penyembahan berubah menjadi menggagahi dan atau memperalat secara paksa.
Maka, sepanjang dinamisme tetap kepada kepribadiannya, yaitu memuja dan
mempercayai kekuatan gaib, tidak berbalik menjadi magis yang memperkosa
kekuatan gaib itu, dapatlah kiranya dia dimasukkan ke dalam kelompok agama
pagan, syirik dan tidak ada ampunan Allah bagi orang-orang yang menyembah
selain kepada Allah
0 komentar:
Posting Komentar