a.
Pelaksanaan di Lapangan
Hanya saja
dalam pelaksanaannya, semua stakeholder (pemegang peran) di bidang
kehutanan baik pemerintah pusat dan daerah, swasta dan masyarakat tidak
berjalan dalam track yang benar dalam menuju suatu
kelestarian yang diidealkan. Penyebab utamanya adalah faktor desakan ekonomi,
faktor moral para pemegang peran di bidang tersebut dan faktor pengembangan
ilmu dan teknologi yang terkesan lambat. Secara rinci ketiga penyebab tersebut dapat diuraikan
sebagai berikut.
1). Faktor desakan ekonomi.
Dengan pola pembangunan nasional
yang dititik beratkan pada sektor ekonomi, membuat seluruh sistem diupayakan
menghasilkan sesuatu secara ekonomis dan diupayakan mampu menggerakkan roda
ekonomi.
Konsekuensi dari pola tersebut
adalah bahwa kapasitas terpasang mesin industri perkayuan di Indonesia digenjot
sedemikian besarnya, mencapai 60 juta m3/tahun, dengan tujuan menaikkan
pendapatan sektor kehutanan dan menghidupkan roda ekonomi bidang kehutanan.
Padahal, ketersediaan bahan baku hanyalah separuhnya, atau sekitar 30 juta m3/tahun,
yang diperoleh dari sekitar 900 ribu hektar hutan/tahun dengan potensi
kayu berdiameter 50 cm ke atas yang boleh ditebang hanya sekitar 30 – 50 m3 per
hektar, dengan riap pertumbuhan kayu juga hanya 1 cm/batang/tahun atau sekitar
1 – 1,5 m3/ha/tahun.
Dengan alasan ekonomi pula, sejak krisis ekonomi Indonesia berlangsung, kondisi
hutan Indonesia diperparah dengan adanya pembelian besar-besaran terhadap hasil
hutan berupa flooring dan sleepers dari kayu jenis Ulin (Eusideroxylon
zwageri T et B) terutama dari hutan (termasuk hutan lindung) di Kalimantan
Timur dan Selatan. Mata rantai penghancuran hutan tersebut melibatkan rangkaian
yang panjang dan kuat sejak dari penebang liar (yang bisa juga dilakukan oleh
masyarakat setempat dengan harga mulai Rp 300.000/m3), kemudian diteruskan
kepada penadah, pengolah, pengumpul sampai dengan eksportir yang pada akhirnya
bernilai jual Rp 3 juta/m3. Pihak yang terlibat dalam perdagangan kedua jenis
komoditi tersebut sudah tidak lagi murni para pekerja bidang perkayuan, tetapi
merambah kepada siapa saja, yang mempunyai minat, modal atau ingin ambil untung
dari setiap transanksi yang dilakukan.
Perilaku serakah sebagaimana disebutkan di atas, mempengaruhi pula perilaku
masyarakat baik yang berada di sekitar lokasi HPH ataupun masyarakat umum
lainnya yang mengetahui kondisi tidak benar tersebut. Pengaruhnya dapat
berbentuk keikutsertaan dalam tindakan yang serupa seperti pencurian kayu,
tebangan liar, mempertentangkan hak adat, tuntutan ganti rugi dan sebagainya.
Rencana Bupati Kutai ingin membangun
pagar sepanjang 45 kilometer untuk membatasi enclave di tengah Taman
Nasional Kutai (Kompasb, 2001) akan menimbulkan pertanyaan, apakah
memang begitu jalan keluar mengatasi pencurian kayu dan perambahan yang terus
marak di areal seluas hampir 200 ribu hektar? Begitu dahsyatnya
eksploitasi hutan dan ketidakberdayaan aparat tampak dimana-mana. Banyak
hutan lindung menjadi sasaran mudah untuk memperoleh kayu – bahkan batubara di
bawahnya juga di incar untuk dieksploitasi - seperti di Taman Nasional
Kerinci Sebelat (Kompasa , 2001) dan Hutan Lindung Bukit Soeharto.
Tumpang tindih areal antara berbagai kepentingan juga telah terjadi, misal
antara HPH, hutan adat, HPHH, atau kelompok-kelompok kecil (koperasi, KUD,
hutan rakyat dan sebagainya). Bagaimana tidak tumpang tindih, kalau
seorang Bupati Kutai Barat (luas hutan produktif 1.481.000
hektar) mengeluarkan 622 ijin HPHH dengan target produksi 2,3 juta
m3 kayu bulat (KK-PKD, 2001). Areal itu boleh jadi mengambil
sisa HPH yang tidak aktif (yang seharusnya tidak boleh tidak aktif, karena
rencana kerja HPH 35 tahun, yang berarti siklus pertama baru akan berakhir
tahun 2005 nanti). Mungkin sekali areal itu juga bertumpang tindih dengan kawasan
yang sedang dalam masa pembinaan suatu HPH aktif tertentu, yang karena
keterbatasan dana, tidak diawasi dengan efektif sehingga terkesan “tak
bertuan”.
Terbukti bahwa teori “The idea of
limited goods” berlaku pada eksploitasi hutan ini. Bahwa barang di dunia
ini (termasuk kayu) jumlahnya terbatas, sehingga kalau diekploitasi secara
berlebihan oleh (sedikit) orang, maka kerugian akan diderita oleh banyak orang
sehingga sebelum menderita, (banyak) orang tersebut turut melakukan eksploitasi
sedapat-dapatnya. Dari sisi ini mungkin terbukti pendapat Hobbes (dalam
Bawengan, 1983) bahwa manusia pada dasarnya rakus dan egois, dan kehidupan
bagaikan medan perang dengan kemenangan bagi pihak yang kuat, bahwa “manusia
natura” hidup dalam suasana kotor, kasar dan singkat.
2). Faktor
Moral
Kekeliruan pada penentu kebijakan,
yang tidak memperhitungkan besarnya kemampuan pasokan tersebut diperparah
dengan faktor moral yang membuat hutan semakin menderita. Moral sebagaimana
disebutkan di atas adalah sifat keserakahan dari para stake holdernya.
Perilaku serakah tersebut merupakan sumber malapetaka yang utama bagi
hutan alam di Indonesia. Pada awal mula diterapkannya Forestry Agreement
melalui UU No. 21 Tahun 1970 tentang HPH, para pemegang lisensi pengusahaan
hutan tersebut telah setuju untuk membagi arealnya dalam 35 blok tebangan
dengan ketentuan bahwa sepanjang semuanya dapat berjalan dengan baik, setiap
tahun diijinkan untuk menebang satu blok tebangan. Karena pertambahan diameter
rata-rata dianggap satu sentimeter per tahun, maka pada akhir tahun ke 35 bekas
blok tebangan pertama akan memiliki tegakan dengan diameter 49(1 x 35) = 84 cm
karena pohon yang diijinkan untuk ditebang adalah pohon dengan diameter 49 cm
ke atas. Dengan demikian rotasi tebang dapat dimulai kembali pada tahun ke 36
pada blok pertama, demikian seterusnya setiap tahun berpindah ke blok
berikutnya.
Kenyataannya yang ada adalah bahwa
meski saat ini HPH baru berumur 30 tahun, sebagian HPH sudah tinggal nama,
tidak beroperasi atau menghentikan kegiatannya dengan alasan tidak memiliki
areal yang layak tebang. Beberapa industri perkayua sudah tidak lagi memiliki
areal yang layak tebang. Beberapa industri perkayuan sudah tidak lagi
memperoleh pasokan kayu bulat karena disamping tidak memiliki standing stock,
perolehan kayu ilegal juga semakin sulit didapatkan.
Moral yang baik juga tidak
ditunjukkan oleh para petugas di lapangan, yang justru sebaliknya, petugas ikut
dalam kegiatan perusakan dengan menjadikan dirinya oknum yang menuntut
perlakuan istimewa. Forester yang menjadi pengawas dan forester
yang menjadi pelaksana (sarjana kehutanan yang bekerja di HPH) tak lebih hanya
sebagai robot, yang masing-masing tertawa dalam hatinya (Iskandar,
2000). Kadar pengabdian dan tanggungjawab yang harus diemban terkalahkan
oleh kebutuhan dan pengaruh lingkungan yang menyesatkan. Demoralisasi dan sikap
kontradiktif (di satu sisi pandai menguraikan nilai-nilai luhur, di sisi lain
korupsi dan kolusi menjadi-jadi) merupakan perilaku lain yang pada akhirnya
menjadikan hutan sebagai korban sasaran eksploitasi.
Sekarang baru tampak bahwa tekanan
yang terlalu berat kepada pembangunan ekonomi, namun tidak disertai pembangunan
etika dan moral melalui keteladanan para pemimpin, telah menjerumuskan sebagian
anggota masyarakat kita kepada pandangan hidup yang hedonistik, yang enak-kepenak.
Kelompok masyarakat tersebut dipenuhi obsesi bagaimana memperoleh kekayaan
pribadi sebesar-besarnya dalam waktu sesingkat-singkatnya dengan cara yang
semudah-mudahnya, tanpa peduli hukum, etika dan moral.
3). Faktor Ilmu Pengetahuan
dan Teknologi
Sudah bukan rahasia umum lagi bahwa
pengelolaan hutan alam di Indonesia hanya didasarkan pada angan-angan yang
hanya bagus pada tataran teori, yakni pada forum diskusi dan buku pedoman.
Dalam pelaksanaannya, setiap jengkal hutan memiliki karakter, hambatan dan
kekhususan dalam hal cara pengelolaan yang tidak semudah membacanya dalam
pedoman. Apa yang disebut dengan Tebang Pilih Indonesia (TPI) yang pada tahun
1989 berubah menjadi Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI), dalam kenyataannya di
lapangan sulit sekali dinilai keberhasilannya, dalam arti bahwa HPH setempat
yakin benar bahwa rotasi kedua nanti pasti memperoleh kayu sesuai yang
telah direncanakan. Lebih banyak hutan berubah menjadi lahan kosong, wilayah
perambahan, semak belukar atau hutan tidak produktif dan tidak terurus.
Hal tersebut lebih banyak karena –
disamping desakan ekonomi dan moral bangsa - ilmu pengetahuan tentang kehutanan
yang kita miliki tidak mampu menjawab tentang bagaimana menciptakan sistem
pengelolaan dan cara budidaya hutan yang benar-benar lestari. Apa yang
disebut dengan TPTI, Tebang Jalur, Tebang Rumpang, Bina Pilih, atau beberapa
sistem budidaya hutan alam lainnya, secara teori, dalam tataran wacana, ataupun
dalam skala area penelitian dalam luasan tertentu, sungguh memberikan harapan
yang menjanjikan. Sistem TPTI telah teruji dalam penelitian dan ditimba dari
berbagai pengalaman, menjanjikan riap yang tadinya hanya 1 – 1,5 m3/ha/tahun
mampu melipatgandakan sepuluh kali hingga mencapai 11 m3/ha/tahun,
sehingga umur panen dapat dipercepat atau bila dipanen sesuai rotasi maka
volume yang dihasilkan akan sepuluh kali lebih besar (Sutisna, 1996). Namun
bila sudah melihat dalam skala luas dan aplikatif dalam operasional perusahaan,
sistem tersebut sulit dibuktikan keberhasilannya. Selalu ditemukan hambatan
baik dari segi teknis, ekonomis, atau bahkan sosial (misalnya petak yang berisi
pohon binaan diklaim sebagai hutan rakyat), sehingga akhirnya sulit sekali
memperoleh jaminan keberlanjutan rotasi berikutnya.
Teknologi yang dimiliki semuanya merupakan teknologi warisan luar negeri,
bahkan sampai pada mesin-mesin pengolah kayu juga merupakan peralatan hasil
relokasi industri dari luar negeri. Ketergantungan kepada pihak luar membuat
kita sangat miskin dan lemah dalam ilmu dan teknologi, terobosan yang ada
belum mampu menjawab kebutuhan akan kelestarian yang sudah sangat
mendesak. Masih terdapat limbah di hutan ( 36,78 %) dan limbah di
industri kayu ( 35 %) yang dibiarkan membusuk atau malahan dibakar begitu
saja (Muladi, 1996). Sangat berbeda misalnya dengan Selandia Baru
(Mc Intosh Company) yang mampu membuat balok penyangga (beam)
hasil penggabungan kayu limbah, dan mampu dipasang tanpa tiang penguat sampai
sepanjang 90 meter (Anonim, 1998). Sementara harga kayu lapis
Indonesia di pasar internasional tidak beranjak naik (bahkan menurun dari
400 US dollar menjadi 250 US dollar/m3 per awal Oktober
2001), Rusia dan Cina mampu menjual produk serupa dengan harga separuhnya.
Cina juga membuka pabrik tikar bambu yang sangat laku di pasar Jepang dan
Amerika Serikat, dan Taiwan mendirikan pabrik lampit (tikar rotan) dengan bahan
baku dari Indonesia, dengan kualitas yang lebih baik dan harga yang lebih murah
dibanding produksi Kalimantan Selatan (Kompasc, 2001).
Tampak bahwa Indonesia sulit untuk mampu merebut teknologi dan terlambat dalam
antisipasi dan diversifikasi produk atau pemanfaatan teknologinya.
b. Beberapa
Saran
1). Keseimbangan ekonomi dengan lingkungan: Strategi Terpadu Pengelolalan
Hutan
Hutan akan
tetap lestari sepanjang manusia memahami berdasar pemikiran dan pengalamannya
yang membuktikan bahwa hutan mampu memberikan manfaat secara ekonomi bagi siapa
saja yang berkaitan dengannya, secara terus menerus. Kata lain dari manfaat
ekonomi secara terus menerus adalah tercapainya kelestarian, sedangkan
kelestarian akan tercapai bila terjadi keseimbangan antara pemanfaatan secara
ekonomi dengan penjagaan kondisi lingkungan yang memungkinkan hutan bertumbuh sebagai
penukar manfaat ekonomi yang dipetik.
Masalahnya adalah bagaimana menjaga kondisi lingkungan tersebut sehingga hutan
mampu bertumbuh sesuai harapan? Karena begitu banyaknya pihak yang
berkaitan dengan hutan, maka konsep pengelolaan terpadu sejak perencanaan awal
hingga kegiatan operasional dan pengawasannya harus disetujui bersama.
Untuk mencapai kelestarian dan melibatkan semua pihak yang memiliki kepentingan
dan keinginan terhadap hutan, perencanaan dan pengelolalan hutan
hendaknya dilakukan pada tiga level yaitu teknis, konsultatif dan koordinatif.
Pada level teknis segenap pertimbangan teknis, ekonomis, sosial dan lingkungan
hendaknya secara proporsional masuk ke dalam perencanaan dan pelaksanaan
pembangunan sumberdaya hutan. Pada level konsultatif segenap aspirasi dan
kebutuhan pihak stakeholder serta pihak penderita dampak
pembangunan sumberdaya tersebut hendaknya diperhatikan. Pada tingkat
koordinatif masyarakat perlu bekerjasama dengan semua pihak untuk menuju tujuan
bersama yang diinginkan.
Dengan
demikian terdapat empat tahap proses perencanaan pengelolaan hutan secara
terpadu, yang bisa disebut sebagai “Strategi Terpadu Pengelolaan Hutan”
meliputi:
a). Tahap merumuskan visi, misi,
tujuan dan sasaran, yang dapat diangkat pada level nasional yang berkait erat
dengan aparat di level provinsi dan kabupaten.
b). Tahap perencanaan zonasi, yang
merupakan rencana alokasi ruang dan pengendalian penggunaan/pemanfaatan ruang.
c). Tahap rencana pengelolaan, yang
merupakan petunjuk dan arahan pengelolaan yang terpadu pada kawasan prioritas
atau pemanfaatan sumberdaya hutan secara optimal dan berkelanjutan
d). Tahap rencana tindak yang
merupakan rencana pelaksanaan perumusan program kegiatan pada masing-masing
unit kegiatan.
Secara lebih jelas, ke empat tahap
tersebut dapat digambarkan sebagai pada Gambar 3 berikut ini.
Penggambaran sebagaimana di atas
menunjukkan adanya keterlibatan semua pihak pada semua aspek sesuai dengan
proporsi masing-masing sehingga diharapkan tujuan bersama yang ditetapkan –
yaitu kelestarian hutan – dapat tercapai.
Dengan demikian sedapat mungkin dilaksanakan peninjauan ulang tentang sistem
perijinan, sistem pemanfaatan, zonasi, dan semua yang terkait dengan hak
pengelolaan atas suatu kawasan hutan, dengan goal-nya adalah kelestarian
dan optimasi hasil. Contoh kasus saja, bahwa tidak akan mungkin lestari
pada areal 100 hektar yang merupakan area kecil-kecil yang dibagi-bagi
oleh bupati kepada masyarakat dengan dalih meningkatkan kesejahteraan langsung
kepada mereka. Bagaimana cutting-cycle bisa terjadi (secara ekonomis
menguntungkan atau tidak) pada areal yang begitu sempit? Mampukah mereka melaksanakan
budidaya dan pembinaan hutannya? Keuntungan terbesar dari kegiatan itu
sebenarnya diperoleh siapa: pemerintah daerah selaku penarik pajak dan
retribusi, masyarakat selaku pemegang hak, atau “cukong” yang meminjamkan dan
memborong pekerjaan dan mengambil kayu mereka? Itu baru satu contoh kasus, dan
belum membahas tentang berbagai bentuk hak pengelolaan lainnya.
Dengan kata lain, perlu kiranya
menetapkan pola penyelesaian penggunaan hutan secara lebih canggih dengan
sasaran tunggal yang disepakati semua pihak (yang berbeda kepentingan) dan
dapat disebut sebagai Penggunaan Hutan Secara Adil dan Berkelanjutan.
2). Perbaikan moral
Saat inilah seharusnya mulai
dilaksanakan penghentian terhadap segala kejahatan sosial termasuk bagi para
pemegang peran di bidang kehutanan. Seharusnya upaya gerakan “kembali dan
start ulang di titik nol” (sebagai istilah lain dari rekonsiliasi) bisa
dilaksanakan baik kepada aparat birokrasi, petugas lapangan, kalangan swasta
dan siapa saja yang terkait dengan masalah eksploitasi hutan.
Paradigma lama, yaitu hanya bertitik berat pada peningkatan sektor ekonomi
semata, harus diubah dengan pembangunan etika dan moral pribadi dan
sosial. Kepedulian kepada hukum dan norma etika moral harus ditegakkan. Bangsa
yang maju adalah bangsa yang taat dan patuh pada hukum, dan bangsa yang
berbudaya adalah bangsa yang menghargai norma, etika dan memiliki moral tinggi.
Kalau hal itu bisa tercapai, maka pendapat Rousseau seperti tercantum di bawah
judul tulisan ini bisa terbantahkan, dan bahkan kita dapat mengikuti nasihat
pujangga “lokal” kaliber dunia Ranggawarsita (1802 – 1873): “…… sak
begja-begjaning wong kang lali, luwih begja kang eling lan waspada”
(Sebesar apapun bahagianya mereka yang lupa, lebih bahagia orang yang ingat
serta waspada) (Suriasumantri, 1995).
3). Peningkatan teknologi
Beberapa
pemikiran agar potensi hutan tidak secara drastis hilang begitu saja,
adalah:
a). Penutupan industri yang tidak
berijin dan industri yang menampung kayu illegal atau yang tidak jelas
sumbernya. Penutupan kegiatan ini harus diikuti dengan sanksi hukum
yang tegas, jelas dan terukur.
b). Penutupan pabrik kayu lapis yang
tidak memiliki pengembangan teknologi yang meningkatkan nilai tambah produk
kayu lapis atau turunannya. Industri kayu lapis harus dikonversi dalam tingkat
teknologi yang lebih tinggi baik segi kualitas dan daya saingnya sehingga mampu
menaikkan harga.
c). Peningkatan kegiatan penelitian
yang didanai dengan cukup untuk mengantisipasi pengembangan teknologi.
4). Peningkatan Kinerja Kelembagaan
dan Perbaikan Iklim Politik
Saat ini merupakan saat yang paling baik untuk memulai suatu prestasi kerja
demi kelestarian hutan dan masa depan bangsa. Kinerja kelembagaan baik sektor
pemerintah dan swasta harus ditata ulang untuk mendukung tujuan itu, dengan
sistem yang baru. Iklim politik (baik nasional maupun dalam lingkup
kehutanan) harus benar-benar bertujuan untuk kepentingan bangsa, bukan
untuk meng”akali” demi tujuan pribadi, kelompok atau golongan. Dengan
komitmen semua pihak, semoga hutan Indonesia tetap lestari keberadaannya, demi
kesejahteraan seluruh bangsa.
0 komentar:
Posting Komentar