Categories

Lesson 6

Blog Archive

Follower

Statistik

Get Gifs at CodemySpace.com

Tinjauan Epistemologis dan Aksiologis



a.      Pelaksanaan di Lapangan
Hanya saja dalam pelaksanaannya,  semua stakeholder (pemegang peran) di bidang kehutanan baik pemerintah pusat dan daerah, swasta dan masyarakat tidak  berjalan dalam track yang benar dalam menuju  suatu kelestarian  yang diidealkan. Penyebab utamanya adalah faktor desakan ekonomi, faktor moral para pemegang peran di bidang tersebut dan faktor pengembangan ilmu dan teknologi yang terkesan lambat. Secara rinci ketiga penyebab tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.
           1). Faktor desakan ekonomi.
Dengan pola pembangunan nasional yang dititik beratkan pada sektor ekonomi, membuat seluruh sistem diupayakan menghasilkan sesuatu secara ekonomis dan diupayakan mampu menggerakkan roda ekonomi.
Konsekuensi dari pola tersebut adalah bahwa kapasitas terpasang mesin industri perkayuan di Indonesia digenjot sedemikian besarnya, mencapai 60 juta m3/tahun, dengan tujuan menaikkan  pendapatan sektor kehutanan dan menghidupkan roda ekonomi bidang kehutanan. Padahal, ketersediaan bahan baku hanyalah separuhnya, atau sekitar 30 juta m3/tahun, yang diperoleh dari  sekitar 900 ribu hektar hutan/tahun dengan potensi kayu berdiameter 50 cm ke atas yang boleh ditebang hanya sekitar 30 – 50 m3 per hektar, dengan riap pertumbuhan kayu juga hanya 1 cm/batang/tahun atau sekitar 1 – 1,5 m3/ha/tahun.

            Dengan alasan ekonomi pula, sejak krisis ekonomi Indonesia berlangsung, kondisi hutan Indonesia diperparah dengan adanya pembelian besar-besaran terhadap hasil hutan berupa flooring dan sleepers dari kayu jenis Ulin (Eusideroxylon zwageri T et B) terutama dari hutan (termasuk hutan lindung) di Kalimantan Timur dan Selatan. Mata rantai penghancuran hutan tersebut melibatkan rangkaian yang panjang dan kuat sejak dari penebang liar (yang bisa juga dilakukan oleh masyarakat setempat dengan harga mulai Rp 300.000/m3), kemudian diteruskan kepada penadah, pengolah, pengumpul sampai dengan eksportir yang pada akhirnya bernilai jual Rp 3 juta/m3. Pihak yang terlibat dalam perdagangan kedua jenis komoditi tersebut sudah tidak lagi murni para pekerja bidang perkayuan, tetapi merambah kepada siapa saja, yang mempunyai minat, modal atau ingin ambil untung dari setiap transanksi yang dilakukan.
            Perilaku serakah sebagaimana disebutkan di atas, mempengaruhi pula perilaku masyarakat baik yang berada di sekitar lokasi HPH ataupun masyarakat umum lainnya yang mengetahui kondisi tidak benar tersebut. Pengaruhnya dapat berbentuk keikutsertaan dalam tindakan yang serupa seperti pencurian kayu, tebangan liar, mempertentangkan hak adat, tuntutan ganti rugi dan sebagainya.
Rencana Bupati Kutai ingin membangun pagar sepanjang 45 kilometer  untuk membatasi enclave di tengah Taman Nasional Kutai (Kompasb, 2001) akan menimbulkan pertanyaan, apakah memang begitu jalan keluar mengatasi pencurian kayu dan perambahan yang terus marak di areal seluas hampir 200 ribu hektar?   Begitu dahsyatnya eksploitasi hutan dan ketidakberdayaan aparat  tampak dimana-mana. Banyak hutan lindung menjadi sasaran mudah untuk memperoleh kayu – bahkan batubara di bawahnya juga di incar untuk dieksploitasi -  seperti di Taman Nasional Kerinci Sebelat (Kompasa , 2001) dan Hutan Lindung Bukit Soeharto.
            Tumpang tindih areal antara berbagai kepentingan juga telah terjadi, misal antara HPH, hutan adat, HPHH, atau kelompok-kelompok kecil (koperasi, KUD, hutan rakyat dan sebagainya). Bagaimana tidak tumpang tindih,  kalau seorang Bupati Kutai Barat (luas  hutan produktif  1.481.000 hektar)  mengeluarkan 622 ijin HPHH  dengan target produksi 2,3 juta m3 kayu bulat (KK-PKD, 2001).  Areal itu boleh jadi mengambil sisa HPH yang tidak aktif (yang seharusnya tidak boleh tidak aktif, karena rencana kerja HPH 35 tahun, yang berarti siklus pertama baru akan berakhir tahun 2005 nanti). Mungkin sekali areal itu juga bertumpang tindih dengan kawasan yang sedang dalam masa pembinaan suatu HPH aktif tertentu, yang karena keterbatasan dana, tidak diawasi dengan efektif sehingga terkesan “tak bertuan”.
Terbukti bahwa teori “The idea of limited goods” berlaku pada eksploitasi hutan ini. Bahwa barang di dunia ini (termasuk kayu) jumlahnya terbatas, sehingga kalau diekploitasi secara berlebihan oleh (sedikit) orang, maka kerugian akan diderita oleh banyak orang sehingga sebelum menderita, (banyak) orang tersebut turut melakukan eksploitasi sedapat-dapatnya. Dari sisi ini mungkin terbukti pendapat Hobbes (dalam Bawengan, 1983) bahwa manusia pada dasarnya rakus dan egois, dan kehidupan bagaikan medan perang dengan kemenangan bagi pihak yang kuat, bahwa “manusia natura” hidup dalam suasana kotor, kasar dan singkat. 


2). Faktor Moral
Kekeliruan pada penentu kebijakan, yang tidak memperhitungkan besarnya kemampuan pasokan tersebut diperparah dengan faktor moral yang membuat hutan semakin menderita. Moral sebagaimana disebutkan di atas adalah sifat keserakahan dari para stake holdernya. Perilaku  serakah tersebut merupakan sumber malapetaka yang utama bagi hutan alam di Indonesia. Pada awal mula diterapkannya Forestry Agreement melalui UU No. 21 Tahun 1970 tentang HPH, para pemegang lisensi pengusahaan hutan tersebut telah setuju untuk membagi arealnya dalam 35 blok tebangan dengan ketentuan bahwa sepanjang semuanya dapat berjalan dengan baik, setiap tahun diijinkan untuk menebang satu blok tebangan. Karena pertambahan diameter rata-rata dianggap satu sentimeter per tahun, maka pada akhir tahun ke 35 bekas blok tebangan pertama akan memiliki tegakan dengan diameter 49(1 x 35) = 84 cm karena pohon yang diijinkan untuk ditebang adalah pohon dengan diameter 49 cm ke atas. Dengan demikian rotasi tebang dapat dimulai kembali pada tahun ke 36 pada blok pertama, demikian seterusnya setiap tahun berpindah ke blok berikutnya.
Kenyataannya yang ada adalah bahwa meski saat ini HPH baru berumur 30 tahun, sebagian HPH sudah tinggal nama, tidak beroperasi atau menghentikan kegiatannya dengan alasan tidak memiliki areal yang layak tebang. Beberapa industri perkayua sudah tidak lagi memiliki areal yang layak tebang. Beberapa industri perkayuan sudah tidak lagi memperoleh pasokan kayu bulat karena disamping tidak memiliki standing stock, perolehan kayu ilegal juga semakin sulit didapatkan.
Moral  yang baik juga tidak ditunjukkan oleh para petugas di lapangan, yang justru sebaliknya, petugas ikut dalam kegiatan perusakan dengan menjadikan dirinya oknum yang menuntut perlakuan istimewa. Forester yang menjadi pengawas dan  forester yang menjadi pelaksana (sarjana kehutanan yang bekerja di HPH) tak lebih hanya sebagai  robot, yang masing-masing tertawa dalam hatinya (Iskandar, 2000).  Kadar pengabdian dan tanggungjawab yang harus diemban terkalahkan oleh kebutuhan dan pengaruh lingkungan yang menyesatkan. Demoralisasi dan sikap kontradiktif (di satu sisi pandai menguraikan nilai-nilai luhur, di sisi lain korupsi dan kolusi menjadi-jadi) merupakan perilaku lain yang pada akhirnya menjadikan hutan sebagai korban sasaran eksploitasi.
Sekarang baru tampak bahwa tekanan yang terlalu berat kepada pembangunan ekonomi, namun tidak disertai pembangunan etika dan moral melalui keteladanan para pemimpin, telah menjerumuskan sebagian anggota masyarakat kita kepada pandangan hidup yang hedonistik, yang enak-kepenak. Kelompok masyarakat tersebut dipenuhi obsesi bagaimana memperoleh kekayaan pribadi sebesar-besarnya dalam waktu sesingkat-singkatnya dengan cara yang semudah-mudahnya, tanpa peduli hukum, etika dan moral.
3).  Faktor Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Sudah bukan rahasia umum lagi bahwa pengelolaan hutan alam di Indonesia hanya didasarkan pada angan-angan yang hanya bagus pada tataran teori, yakni pada forum diskusi dan buku pedoman. Dalam pelaksanaannya, setiap jengkal hutan memiliki karakter, hambatan dan kekhususan dalam hal cara pengelolaan yang tidak semudah membacanya dalam pedoman. Apa yang disebut dengan Tebang Pilih Indonesia (TPI) yang pada tahun 1989 berubah menjadi Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI), dalam kenyataannya di lapangan sulit sekali dinilai keberhasilannya, dalam arti bahwa HPH setempat yakin benar bahwa rotasi kedua  nanti pasti memperoleh kayu sesuai yang telah direncanakan. Lebih banyak hutan berubah menjadi lahan kosong, wilayah perambahan, semak belukar atau hutan tidak produktif dan tidak terurus.
Hal tersebut lebih banyak karena – disamping desakan ekonomi dan moral bangsa - ilmu pengetahuan tentang kehutanan yang kita miliki tidak mampu menjawab tentang bagaimana menciptakan sistem pengelolaan dan cara budidaya hutan yang benar-benar lestari.  Apa yang disebut dengan TPTI, Tebang Jalur, Tebang Rumpang, Bina Pilih, atau beberapa sistem budidaya hutan alam lainnya, secara teori, dalam tataran wacana, ataupun dalam skala area penelitian dalam luasan tertentu, sungguh memberikan harapan yang menjanjikan. Sistem TPTI telah teruji dalam penelitian dan ditimba dari berbagai pengalaman, menjanjikan riap yang tadinya hanya  1 – 1,5 m3/ha/tahun mampu melipatgandakan sepuluh kali hingga mencapai 11 m3/ha/tahun, sehingga umur panen dapat dipercepat atau bila dipanen sesuai rotasi maka volume yang dihasilkan akan sepuluh kali lebih besar (Sutisna, 1996). Namun bila sudah melihat dalam skala luas dan aplikatif dalam operasional perusahaan, sistem tersebut sulit dibuktikan keberhasilannya. Selalu ditemukan hambatan baik dari segi teknis, ekonomis, atau bahkan sosial (misalnya petak yang berisi pohon binaan diklaim sebagai hutan rakyat), sehingga akhirnya sulit sekali memperoleh jaminan keberlanjutan rotasi berikutnya.
            Teknologi  yang dimiliki semuanya merupakan teknologi warisan luar negeri, bahkan sampai pada mesin-mesin pengolah kayu juga merupakan peralatan hasil relokasi industri dari luar negeri. Ketergantungan kepada pihak luar membuat kita sangat miskin dan lemah dalam ilmu dan teknologi,  terobosan yang ada belum mampu menjawab kebutuhan akan kelestarian yang sudah sangat mendesak.  Masih terdapat limbah di hutan ( 36,78 %) dan limbah di industri kayu ( 35 %) yang dibiarkan membusuk atau malahan dibakar begitu saja  (Muladi, 1996).  Sangat berbeda misalnya dengan Selandia Baru (Mc Intosh Company) yang mampu membuat  balok penyangga (beam) hasil penggabungan kayu limbah, dan mampu dipasang tanpa tiang penguat sampai sepanjang  90 meter (Anonim, 1998).  Sementara harga kayu lapis Indonesia di  pasar internasional tidak beranjak naik (bahkan menurun dari 400 US dollar menjadi 250 US dollar/mper awal Oktober 2001),  Rusia dan Cina mampu menjual produk serupa dengan harga separuhnya. Cina juga membuka pabrik tikar bambu yang sangat laku di pasar Jepang dan Amerika Serikat, dan Taiwan mendirikan pabrik lampit (tikar rotan) dengan bahan baku dari Indonesia, dengan kualitas yang lebih baik dan harga yang lebih murah dibanding produksi Kalimantan Selatan (Kompasc,  2001).  Tampak bahwa Indonesia sulit untuk mampu merebut teknologi dan terlambat dalam antisipasi dan diversifikasi produk atau pemanfaatan teknologinya.
b. Beberapa Saran
   1). Keseimbangan ekonomi dengan lingkungan: Strategi Terpadu Pengelolalan Hutan
Hutan akan tetap lestari sepanjang manusia memahami berdasar pemikiran dan pengalamannya yang membuktikan bahwa hutan mampu memberikan manfaat secara ekonomi bagi siapa saja yang berkaitan dengannya, secara terus menerus. Kata lain dari manfaat ekonomi secara terus menerus adalah tercapainya kelestarian, sedangkan kelestarian akan tercapai bila terjadi keseimbangan antara pemanfaatan secara ekonomi dengan penjagaan kondisi lingkungan yang memungkinkan hutan bertumbuh sebagai penukar manfaat ekonomi yang dipetik.
            Masalahnya adalah bagaimana menjaga kondisi lingkungan tersebut sehingga hutan mampu bertumbuh sesuai harapan?  Karena begitu banyaknya pihak yang berkaitan dengan hutan, maka konsep pengelolaan terpadu sejak perencanaan awal hingga kegiatan operasional dan pengawasannya harus disetujui bersama.
            Untuk mencapai kelestarian dan melibatkan semua pihak yang memiliki kepentingan dan keinginan terhadap hutan,  perencanaan dan pengelolalan hutan hendaknya dilakukan pada tiga level yaitu teknis, konsultatif dan koordinatif. Pada level teknis segenap pertimbangan teknis, ekonomis, sosial dan lingkungan hendaknya secara proporsional masuk ke dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan sumberdaya hutan. Pada level konsultatif segenap aspirasi dan kebutuhan pihak stakeholder  serta pihak penderita dampak pembangunan sumberdaya tersebut hendaknya diperhatikan. Pada tingkat koordinatif masyarakat perlu bekerjasama dengan semua pihak untuk menuju tujuan bersama yang diinginkan.
Dengan demikian terdapat empat tahap proses perencanaan pengelolaan hutan secara terpadu, yang bisa disebut sebagai “Strategi Terpadu Pengelolaan Hutan” meliputi:
a). Tahap merumuskan visi, misi, tujuan dan sasaran, yang dapat diangkat pada level nasional yang berkait erat dengan aparat di level provinsi dan kabupaten.
b). Tahap perencanaan zonasi, yang merupakan rencana alokasi ruang dan pengendalian penggunaan/pemanfaatan ruang.
c). Tahap rencana pengelolaan, yang merupakan petunjuk dan arahan pengelolaan yang terpadu pada kawasan prioritas atau pemanfaatan sumberdaya hutan secara optimal dan berkelanjutan
d). Tahap rencana tindak yang merupakan rencana pelaksanaan perumusan program kegiatan pada masing-masing unit kegiatan.
Secara lebih jelas, ke empat tahap tersebut dapat digambarkan sebagai  pada Gambar 3 berikut ini.
            Penggambaran sebagaimana di atas menunjukkan adanya keterlibatan semua pihak pada semua aspek sesuai dengan proporsi masing-masing sehingga diharapkan tujuan bersama yang ditetapkan – yaitu kelestarian hutan – dapat tercapai.
            Dengan demikian sedapat mungkin dilaksanakan peninjauan ulang tentang sistem perijinan, sistem pemanfaatan, zonasi, dan semua yang terkait dengan hak pengelolaan atas suatu kawasan hutan, dengan goal-nya adalah kelestarian dan optimasi hasil.  Contoh kasus saja, bahwa tidak akan mungkin lestari pada areal 100 hektar yang  merupakan area kecil-kecil yang dibagi-bagi oleh bupati kepada masyarakat dengan dalih meningkatkan kesejahteraan langsung kepada mereka. Bagaimana cutting-cycle bisa terjadi (secara ekonomis menguntungkan atau tidak) pada areal yang begitu sempit? Mampukah mereka melaksanakan budidaya dan pembinaan hutannya? Keuntungan terbesar dari kegiatan itu sebenarnya diperoleh siapa: pemerintah daerah selaku penarik pajak dan retribusi, masyarakat selaku pemegang hak, atau “cukong” yang meminjamkan dan memborong pekerjaan dan mengambil kayu mereka? Itu baru satu contoh kasus, dan belum membahas tentang berbagai bentuk hak pengelolaan lainnya.
Dengan kata lain, perlu kiranya menetapkan pola penyelesaian penggunaan hutan secara lebih canggih dengan sasaran tunggal yang disepakati semua pihak (yang berbeda kepentingan) dan dapat disebut sebagai Penggunaan Hutan Secara Adil dan Berkelanjutan.
2). Perbaikan moral
Saat inilah seharusnya mulai dilaksanakan penghentian terhadap segala kejahatan sosial termasuk bagi para pemegang peran di bidang kehutanan. Seharusnya upaya gerakan “kembali dan start ulang di titik nol” (sebagai istilah lain dari rekonsiliasi) bisa dilaksanakan baik kepada aparat birokrasi, petugas lapangan, kalangan swasta dan siapa saja yang terkait dengan masalah eksploitasi hutan.
            Paradigma lama, yaitu hanya bertitik berat pada peningkatan  sektor ekonomi semata, harus diubah  dengan pembangunan etika dan moral pribadi dan sosial. Kepedulian kepada hukum dan norma etika moral harus ditegakkan. Bangsa yang maju adalah bangsa yang taat dan patuh pada hukum, dan bangsa yang berbudaya adalah bangsa yang menghargai norma, etika dan memiliki moral tinggi.
            Kalau hal itu bisa tercapai, maka pendapat Rousseau seperti tercantum di bawah judul tulisan ini bisa terbantahkan, dan bahkan kita dapat mengikuti nasihat pujangga “lokal” kaliber dunia Ranggawarsita (1802 – 1873): “…… sak begja-begjaning wong kang lali, luwih begja kang eling lan waspada” (Sebesar apapun bahagianya mereka yang lupa, lebih bahagia orang yang ingat serta waspada) (Suriasumantri, 1995).
3). Peningkatan teknologi
                        Beberapa pemikiran agar potensi hutan tidak secara drastis  hilang begitu saja, adalah:
a). Penutupan industri yang tidak berijin dan industri yang menampung kayu illegal atau yang tidak jelas sumbernya.  Penutupan kegiatan ini harus diikuti dengan sanksi hukum yang  tegas, jelas dan terukur.
b). Penutupan pabrik kayu lapis yang tidak memiliki pengembangan teknologi yang meningkatkan nilai tambah produk kayu lapis atau turunannya. Industri kayu lapis harus dikonversi dalam tingkat teknologi yang lebih tinggi baik segi kualitas dan daya saingnya sehingga mampu menaikkan harga.
c). Peningkatan kegiatan penelitian yang didanai dengan cukup untuk mengantisipasi pengembangan teknologi.
4). Peningkatan Kinerja Kelembagaan dan Perbaikan Iklim Politik
            Saat ini merupakan saat yang paling baik untuk memulai suatu prestasi kerja demi kelestarian hutan dan masa depan bangsa. Kinerja kelembagaan baik sektor pemerintah dan swasta harus ditata ulang untuk mendukung tujuan itu, dengan sistem  yang baru. Iklim politik (baik nasional maupun dalam lingkup kehutanan) harus benar-benar bertujuan untuk kepentingan bangsa, bukan untuk  meng”akali” demi tujuan pribadi, kelompok atau golongan. Dengan komitmen semua pihak, semoga hutan Indonesia tetap lestari keberadaannya, demi kesejahteraan seluruh bangsa.

0 komentar:

Posting Komentar