Categories

Lesson 6

Blog Archive

Follower

Statistik

Get Gifs at CodemySpace.com

PERBAIKAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN PELESTARIAN FUNGSI LINGKUNGAN HIDUP


 Pembangunan yang seimbang dan terpadu antara aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup adalah prinsip pembangunan yang senantiasa menjadi dasar pertimbangan utama bagi seluruh sektor dan daerah guna menjamin keberlanjutan proses pembangunan itu sendiri. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004–2009, perbaikan pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian fungsi lingkungan hidup diarahkan untuk memperbaiki sistem pengelolaan sumber daya alam agar sumber daya alam mampu memberikan manfaat ekonomi, termasuk jasa lingkungannya, dalam jangka panjang dengan tetap menjamin kelestariannya. Dengan demikian, sumber daya alam diharapkan dapat tetap mendukung perekonomian nasional dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat tanpa mengorbankan daya dukung dan fungsi lingkungan hidupnya, agar tetap dapat dinikmati oleh generasi mendatang. Dalam kaitan ini, pembangunan berkelanjutan terus diupayakan menjadi arus utama dari pembangunan nasional di semua bidang dan daerah.
Pembangunan kehutanan selama lebih dari tiga puluh tahun telah difungsikan sebagai penunjang pembangunan ekonomi dengan memanfaatkan hasil hutan kayu secara berlebih, sementara masalah sosial dan lingkungan yang berkaitan dengan hutan kurang mendapat perhatian yang memadai. Akibat dari itu, hutan Indonesia telah terdegradasi dengan kecepatan yang sangat mengkhawatirkan. Walaupun pada tataran pemikiran telah disadari akan peran hutan sebagai fungsi penunjang ekosistem kehidupan yang lebih luas dan upaya untuk mewujudkan pengelolaan hutan yang berkelanjutan (sustainable forest management) telah seringkali dibahas, namun dalam praktek sehari-hari di lapangan degradasi hutan masih terus berlanjut. Dampak-dampak negatif dari degradasi hutan juga semakin sering terjadi dengan korban jiwa dan materi yang semakin besar. Dalam jangka pendek hal ini diperkirakan masih sulit untuk diatasi karena upaya perbaikan yang dilakukan akan berkejaran dengan degradasi yang terjadi. Oleh karena itu yang harus dilakukan adalah peningkatan perbaikan pengelolaan hutan secara terus menerus, baik perbaikan dari segi kualitas pengelolaan maupun skala aksi di lapangan. Disamping itu juga diperlukan suatu gerakan nasional yang konsisten dan terus menerus yang melibatkan semua pihak, antara lain dengan meningkatkan peran kelembagaan pengelola kehutanan yang harus semakin handal.

Berdasarkan kondisi umum tersebut diatas, perbaikan pengelolaan sumber daya hutan dilakukan melalui penguatan kelembagaan pengelola hutan dengan membentuk unit-unit pengelola lapangan berupa kesatuan pengelola hutan (KPH) yang mencakup seluruh jenis hutan yaitu hutan produksi, hutan lindung dan hutan konservasi. Untuk mewujudkan hal tersebut, pada tahun 2005 telah dilakukan beberapa kegiatan sebagai berikut. Dalam rangka pelaksanaan Program Pemantapan Pemanfaatan Potensi Sumberdaya Hutan telah dilakukan penetapan kawasan hutan sebanyak 35 unit dengan luas sekitar 110 ribu ha, penunjukan kawasan hutan dan perairan untuk 3 provinsi, pengembangan hutan kemasyarakatan dan usaha perhutanan rakyat, penyelesaian restrukturisasi terhadap 17 HTI dan HPH/IUPHHK pada 73 perusahaan, serta pengembangan produk kayu bernilai tinggi. Dalam pelaksanaan program perlindungan dan konservasi sumber daya alam telah dilaksanakan kegiatan-kegiatan meliputi penetapan 5 Taman Nasional baru, pengembangan pusat-pusat penyelamatan satwa, pemberdayaan masyarakat dalam pelestarian sumber daya alam, implementasi kolaborasi pengelolaan taman nasional untuk lebih dari 9 taman nasional, sosialisasi sistem peringkat bahaya kebakaran, dan pembentukan brigade pengendalian kebakaran hutan di 15 provinsi. Selanjutnya, dalam implementasi Program Rehabilitasi dan Pemulihan Cadangan Sumberdaya Alam telah dilakukan pelaksanaan kajian awal untuk rencana induk pelaksanaan rehabilitasi ekosistem mangrove di Provinsi NAD, pelaksanaan rehabilitasi hutan lindung seluas 89 ribu ha, pelaksanaan gerakan rehabilitasi hutan dan lahan yang masih berjalan sampai tahun 2007, serta penelitian teknik rehabilitasi lahan kritis bekas tambang, teknik dan kelembagaan rehabilitasi lahan gambut, dan teknik rehabilitasi lahan terdegradasi. Beberapa kegiatan yang dilaksanakan dalam pelaksanaan Program Pengembangan Kapasitas Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup adalah: pengembangan sistem pengawasan dan pengelolaan pemanfaatan sumber daya alam oleh masyarakat, bimbingan teknis perencanaan pengembangan social forestry di 15 provinsi dan monitoring dan evaluasi penyelenggaraan social forestry di 20 provinsi, serta pembangunan fasilitas pelatihan pemadaman kebakaran hutan untuk petugas dari 4 Taman Nasional. Sedangkan kegiatan yang telah dihasilkan dari pelaksanaan Program Peningkatan Kualitas dan Akses Informasi Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup adalah: pembentukan forum DAS dan forum komunikasi kelompok kerja DAS di 9 DAS.
Di samping itu, sektor kelautan yang merupakan salah satu sektor pembangunan berbasis pada sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan, diharapkan dapat menjadi andalan dalam mendukung perekonomian nasional dan daerah serta peningkatan kesejahteraan rakyat Indonesia. Dalam pelaksanaan pembangunan kelautan, telah dihasilkan beberapa pencapaian yang meliputi: (1) penanganan pencurian ikan (illegal fishing); (2) pembangunan/ pemberdayaan pulau-pulau kecil dan pulau-pulau terluar/terdepan; (3) pengelolaan wilayah pesisir dan laut secara terpadu; dan (4) konservasi dan rehabilitasi sumber daya kelautan.
Banyaknya praktik pelanggaran dan illegal fishing telah mengakibatkan kerugian negara cukup besar. Untuk meminimalkan kerugian yang terjadi, telah dilakukan upaya pengawasan dan pengendalian sumber daya kelautan dan perikanan di perairan teritorial dan Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEEI) melalui penerapan sistem Monitoring Controlling and Surveillance (MCS). Sistem ini terdiri atas Vessel Monitoring System (VMS) yang bermanfaat untuk memantau kapal perikanan yang beroperasi di perairan Indonesia dan ZEEI melalui pemasangan transmiter di kapal-kapal perikanan, dan didukung oleh 18 kapal patroli, 50 alat komunikasi, 600 Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), dan sistem pengawasan berbasis masyarakat (SISWASMAS) di setiap wilayah. Dalam kurun waktu 2004-2005, transmiter yang telah dipasang berjumlah sekitar 1.375 buah, sementara itu juga telah terbentuk kelompok masyarakat pengawas sebanyak 579 kelompok, dan diperkirakan mencapai sebanyak 650 kelompok pada tahun 2006. Selain itu, juga dilaksanakan operasi terpadu yang terdiri atas unsur-unsur Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), TNI AL, Polair dan TNI AU, serta kelompok masyarakat pengawas, di samping gelar operasi mandiri yang dilakukan oleh DKP. Perbaikan sistem perijinan usaha penangkapan dan penyiapan pembentukan Pengadilan Khusus Perikanan juga telah dilaksanakan untuk mendukung penanggulangan illegal fishing.
Dalam rangka pengembangan dan pengelolaan sumber daya kelautan telah dilaksanakan penyusunan rencana pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu, rencana zonasi wilayah pesisir, dan pelatihan pengelolaan wilayah pesisir terpadu di 15 provinsi, yang mencakup 42 kabupaten/kota. Di samping itu, pada tahun 2005 juga mulai dilakukan perumusan dan penyusunan kebijakan kelautan nasional (ocean policy). Dalam rangka pendayagunaan potensi sumber daya kelautan non-konvensional, telah dilakukan pengelolaan benda muatan kapal tenggelam (BMKT) yang tersebar sedikitnya di 463 titik. Pengangkatan BMKT telah dilakukan di Pantai Utara Cirebon dengan nilai taksir sebesar Rp225 miliar. Di bidang penataan ruang laut yang merupakan basis pengembangan wilayah pesisir, telah dilakukan penyusunan tata ruang pesisir, laut dan pulau-pulau kecil pada skala regional, provinsi, kabupaten/kota dan kawasan, serta penyusunan rencana detail lokasi kawasan unggulan. Dalam kaitan itu, telah dilakukan pula pengelolaan ruang laut kawasan Teluk Tomini, Selat Karimata, Teluk Cenderawasih dan Teluk Balikpapan.
Pembangunan pulau-pulau kecil telah menjadi perhatian khusus untuk ditangani dalam beberapa tahun ini, mengingat kondisinya yang tertinggal dan sebagian dari pulau-pulau tersebut sebagai titik pangkal perbatasan Indonesia dengan negara-negara tetangga. Dalam pengembangan dan pemanfaatan pulau-pulau kecil di Indonesia, sejak tahun 2002 telah dibentuk Kelompok Kerja Strategi Pengembangan dan Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil sebagai wadah koordinasi lintas sektor dan daerah. Pada tahun 2005, pemerintah pusat bersama-sama dengan pemerintah daerah telah melakukan kegiatan toponimi (penamaan pulau) di 8 provinsi, yaitu: Bangka Belitung, Riau, Maluku Utara, NTB, NTT, Sumatera Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur. Selain itu, dilakukan pengembangan pariwisata bahari di kawasan pulau-pulau kecil di 6 lokasi. Selanjutnya, guna mempercepat pembangunan pulau-pulau kecil terluar di 13 kabupaten, pemerintah telah melakukan pengadaan sarana dan prasarana energi tenaga surya dan alat komunikasi. Khusus untuk penanganan dan pemanfaatan pulau-pulau terdepan/terluar yang berjumlah 92 pulau, telah dikeluarkan Peraturan Presiden No. 78/2005 tentang Pengelolaan Pulau-pulau Terluar. Diharapkan dengan keluarnya Perpres tersebut akan dapat mempercepat penanganan dan pengembangan pulau-pulau terluar yang ada baik dari segi hankam maupun kesejahteraan.
Saat ini, kondisi ekosistem pesisir di sebagian wilayah telah mengalami kerusakan dan pencemaran yang tinggi, yang digambarkan dengan kerusakan rata-rata terumbu karang sebesar 40 persen, penurunan luasan mangrove, dan pencemaran yang tinggi di beberapa wilayah pesisir/laut. Sebagai salah satu upaya pengurangan perusakan, dilakukan program perlindungan dan rehabilitasi sumber daya kelautan dan perikanan dengan cara melakukan rehabilitasi terumbu karang di 8 provinsi yang meliputi 12 kabupaten/kota, penanaman mangrove, dan pengelolaan konservasi kawasan dan konservasi jenis. Selama kurun waktu 2002–2005, telah ditetapkan luasan kawasan konservasi laut daerah (KKLD) melalui SK Bupati dan calon KKLD sekitar dua juta hektar, yang diperkirakan akan bertambah sebesar 700 ribu hektar pada tahun 2006. Selain itu, persiapan juga dilakukan dalam rangka pengusulan marine world heritage site, yaitu Taman Nasional Bunaken, Takabonarate, Kepulauan Banda, Raja Ampat, Kepulauan Derawan, dan Wakatobi. Pada tahun 2005 dan 2006 telah dilaksanakan kegiatan kerjasama regional dengan Malaysia dan Filipina dalam pengelolaan kawasan konservasi laut Sulu Sulawesi (Sulu Sulawesi Marine Eco-Region), dan telah menghasilkan rencana aksi konservasi di tingkat nasional dan regional. Selain itu, telah dilakukan pula pengelolaan sumber daya secara berkelanjutan di perairan Arafura dan Timor yang dilaksanakan melalui kerjasama dengan Australia, Timor Leste, dan Papua New Guinea.Untuk kerjasama pengelolaan laut antar daerah antara lain telah dilaksanakan di Selat Karimata dan Teluk Tomini. Sebagai upaya mitigasi bencana lingkungan laut, telah disusun pedoman strategi nasional mitigasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Bidang energi dan sumber daya mineral juga memegang peranan penting dalam perekonomian nasional. Hal ini terbukti dengan besarnya peranan sektor energi dan sumber daya mineral sebagai penyedia sumber energi, sumber devisa, penerimaan negara, sumber bahan baku industri, wahana alih teknologi, pendukung pengembangan wilayah, menciptakan lapangan pekerjaan dan pendorong pertumbuhan sektor lain. Komoditi yang dihasilkan dari sektor ini masih memegang peranan penting dalam perekonomian nasional, menyumbang hampir mencapai 30% dari total pendapatan negara. Perbaikan iklim investasi mutlak diperlukan guna terus mendukung fungsi sektor energi dan sumber daya mineral sebagai tulang punggung penggerak roda ekonomi nasional dalam tahun-tahun mendatang. Di samping itu penyempurnaan aturan main mengenai pengelolaan produksi pemanfaatan minyak dan gas bumi (migas) perlu terus disempurnakan guna mendukung peningkatan devisa sebagai penerimaan negara.
Dalam tahun-tahun mendatang, sektor industri akan terus menjadi konsumen energi final yang paling besar. Berbeda dengan sektor transportasi yang hanya mengkonsumsi bahan bakar minyak (BBM), sektor industri mengkonsumsi berbagai jenis energi final, seperti BBM (35–40%), gas bumi (30–35%), batu bara (15–18%), Liquified Petroleum Gas (LPG) (0–1%), dan listrik (10–12%). Di samping itu pemanfaatan bahan bakar gas (BBG) terutama untuk sektor transportasi menjadi salah satu opsi yang perlu mendapatkan perhatian. Dengan meningkatnya harga BBM akhir-akhir ini – berkurangnya subsidi BBM – ada potensi untuk menggeser kedudukan BBM di sektor industri oleh berbagai jenis energi final lainnya. Gas bumi, batu bara, dan LPG menjadi lebih kompetitif untuk digunakan sebagai energi input di sektor industri. Belum lagi energi final lainnya yang bersumber dari nabati (biofuel) atapun hayati (biomass), yang jika dikelola dengan baik akan merupakan sumber energi alternatif (yang juga kompetitif) pengganti BBM.
Lingkungan tektonik Indonesia memberikan implikasi kepulauan Indonesia kaya akan sumber daya energi dan mineral. Penelitian dan penyelidikan terhadap sumber daya energi fosil seperti migas, Coal Bed Methane (CBM), gas hydrat dan batubara perlu ditingkatkan agar potensi yang ada terkelola dengan optimal. Tidak kalah penting juga, adalah meningkatkan penemuan keberadaan endapan-endapan mineral logam seperti tembaga, emas, nikel, dan timah yang terletak pada busur-busur magmatik dan membentuk proses mineralisasi. Busur magmatik aktif yang terdapat di kawasan Indonesia ini selain membawa mineral-mineral berharga juga menghasilkan suatu sumber energi alternatif yang ramah lingkungan yaitu panas bumi. Cadangan panas bumi yang dimiliki cukup besar untuk menunda posisi Indonesia sebagai net oil importer dan mendukung diversifikasi energi primer bila dapat dioptimumkan pemanfaatannya. Beberapa komoditi mineral logam yang memiliki nilai ekonomi tinggi diantaranya emas, tembaga, timah, dan nikel, juga komoditi mineral non logam atau mineral industri yang sangat beragam jumlahnya saat ini perlu dikembangkan secara intensif.
Indonesia juga berpotensi besar terkena bencana geologi. Mitigasi bencana geologi sangat penting dilakukan dalam melindungi seluruh rakyat baik jiwa maupun harta bendanya. Pemanfaatan teknologi geologi memegang peranan penting dalam pemanfaatan lahan untuk kawasan pertambangan, kawasan industri, hutan lindung serta untuk pariwisatanya, sehingga tumpang tindih lahan tidak terjadi. Penyebaran informasi geologi dan sumber daya mineral yang lengkap akan sangat membantu. Kedepan, informasi geologi dan sumber daya mineral harus dengan mudah didapat baik berkaitan dengan dunia usaha maupun kebencanaan. Kondisi geologi dan potensi mineral Indonesia sangat menarik, namun masih banyak wilayah yang belum dijangkau oleh kegiatan eksplorasi secara intensif.
Selama tahun 2005 keadaan lingkungan hidup banyak mengalami tekanan di hampir seluruh wilayah tanah air yang didominasi oleh kejadian bencana alam dan lingkungan, serta beragam masalah lingkungan hidup. Bencana alam yang terjadi diantaranya adalah gempa bumi, tsunami, tanah longsor, banjir dan letusan gunungapi, di berbagai daerah, dengan kecenderungan yang semakin meningkat. Bencana gempa bumi, tsunami, tanah longsor, banjir dan letusan gunungapi telah menimbulkan kerusakan lingkungan seperti rusaknya kawasan budidaya (persawahan, perkebunan, peternakan, dan pertambangan) sarana prasarana, harta dan jiwa manusia. Penyebab banjir dan tanah longsor adalah kombinasi antara besaran curah hujan, struktur geologi, jenis tanah dan daya dukung dan atau kawasan lindung yang dialih fungsikan. Beragam faktor penyebab banjir (dan juga tanah longsor) untuk setiap lokasi namun terdapat faktor yang sama yaitu kombinasi antara curah hujan, daya dukung lingkungan, dialih fungsikannya kawasan lindung khususnya hutan lindung dan masyarakat yang terkena musibah tinggal di kawasan lindung. Kejadian bencana gempa bumi, tsunami dan letusan gunungapi juga tidak terlepas dari dinamika geologi yang memerlukan penelitian, penyelidikan dan sekaligus mitigasi bencana yang baik agar dampak negatif dari bencana dapat diminimalkan.
Disamping itu, Kejadian Luar Biasa (KLB) berbagai penyakit menular muncul secara bergantian, tidak saja flu burung (Avian Influenza) yang telah mewabah dan menjadi sorotan secara internasional, akan tetapi penyakit-penyakit lain yang sampai sekarang masih menjadi masalah perlu menjadi perhatian pula. Demam berdarah selalu muncul setiap tahun di berbagai daerah, polio, busung lapar, tuberkulosisi (TBC), muntaber dan malaria masih mewabah di beberapa provinsi. Upaya penanganan secara kuratif (pengobatan) memang perlu dilakukan akan tetapi penanganan secara promotif dan pencegahan masih kurang mendapat perhatian. Keadaan di atas tidak lepas kaitannya dengan degradasi kualitas fungsi lingkungan diikuti dengan gaya hidup tidak sehat serta kemiskinan yang masih cukup tinggi.
Di lain pihak, pembangunan bidang lingkungan hidup, telah mencatat beberapa capaian dalam melaksanakan pengelolaan lingkungan hidup. Untuk itu telah dilakukan peningkatan pengawasan dan penegakan hukum terhadap pencemar dan perusak lingkungan, penyusunan berbagai peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup, peningkatan kesadaran semua lapisan masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup dan penyebarluasan informasi dan isu lingkungan hidup yang dilakukan di pusat dan daerah juga telah meningkatkan kepedulian banyak pihak terhadap kondisi lingkungan hidup. Disamping itu, telah dilaksanakan Program Bangun Praja, Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup (PROPER), dan Program Super Kasih, pembinaan tim penilai AMDAL, serta terbentuknya Environmental Parliament Watch. Indonesia sebagai bagian dari masyarakat dunia juga telah melaksanakan kegiatan di bidang perlindungan lapisan ozon dari kerusakan akibat penggunaan bahan-bahan kimia, sebagai tindak lanjut ratifikasi Konvensi Wina dan Protokol Montreal di bidang perlindungan lapisan ozon.
Pembangunan bidang meteorologi dan geofisika memiliki peran yang penting untuk negara tropis dengan keunikan geografis, cuaca, dan iklim seperti Indonesia. Variabilitas iklim serta karakteristik kegempaan yang terkait erat dengan rentannya Indonesia terhadap proses aktivitas bumi yang tidak pernah berhenti dapat muncul dalam bentuk fenomena alam seperti curah hujan ekstrim, banjir, longsor, kemarau panjang, angin topan, puting beliung, gempa bumi dan tsunami akan membawa dampak buruk bagi kehidupan manusia berupa korban jiwa maupun harta benda. Catatan internasional tentang jumlah korban bencana (1994–2003) menunjukkan bahwa di Asia terjadi bencana dua sampai tiga kali setiap tahun. Sembilan persen dari jumlah korban bencana adalah penduduk Asia, dan Indonesia menduduki urutan ke-4 di Asia setelah China, India dan Filipina.
Untuk tujuan mengurangi dampak bencana diperlukan informasi awal yang tingkat ketepatan dan kecepatannya tinggi agar dapat tepat sesuai kebutuhan dan dapat diterima end-user dalam waktu yang singkat. Informasi dini pada dasarnya tidak hanya digunakan untuk penanggulangan bencana tapi juga sebagai landasan operasional dalam kegiatan perencanaan keselamatan transportasi baik udara, laut dan darat; peningkatan produksi pangan; pelestarian lingkungan hidup; pertahanan dan keamanan; kesehatan; dan pariwisata.
Berbagai upaya perbaikan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup yang telah dilakukan masih memerlukan tindak lanjut mengingat masih banyaknya masalah serta tantangan yang dihadapi dalam tahun 2006.  Permasalahan yang diperkirakan masih dihadapi dalam pembangunan kehutanan pada tahun 2007 adalah: (1) masih lemahnya kapasitas kelembagaan pengelola sumber daya hutan khususnya di tingkat lapangan sehingga pengelolaan hutan yang berkelanjutan (sustainable forest management/SFM) masih belum dapat dilaksanakan dengan baik; (2) belum optimalnya pemanfaatan aneka fungsi hutan karena pengelolaan hutan masih bertumpu pada hasil hutan kayu; (3) masih belum selesainya restrukturisasi industri kehutanan sehingga permintaan bahan baku kayu dari industri dalam negeri jauh melebihi kemampuan penyediaan yang berkelanjutan; (4) masih lemahnya penegakan hukum terhadap pelanggaran UU dan peraturan yang terkait dengan kehutanan sehingga kasus-kasus pembalakan liar (illegal logging), tebang berlebih, perdagangan kayu ilegal (illegal trading), pembakaran hutan, konversi kawasan hutan , dll masih sering terjadi; (5) kurangnya pelibatan dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan, antara lain karena tidak jelasnya pelaksanaan aturan kerjasama pemerintah dan masyarakat, serta kondisi kemiskinan masyarakat sehingga cenderung mudah dimanfaatkan untuk mendukung kegiatan-kegiatan ilegal; (6) kurang efektifnya pelaksanaan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan kritis, perlindungan dan konservasi, penatagunaan kawasan hutan, dan lain-lain.
Dalam pelaksanaan program pembangunan kelautan permasalahan yang masih akan dihadapi dalam tahun 2007 adalah: (1) masih rendahnya sarana dan prasarana pengawasan dan pengendalian sumber daya kelautan, serta lemahnya penegakan hukum dalam penanganan illegal fishing; (2) kurang optimalnya pemanfaatan potensi sumber daya kelautan dan perikanan di Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia, termasuk potensi kelautan non-konvensional; (3) belum berkembangnya pembangunan pulau-pulau kecil dan pulau-pulau terdepan/terluar; (4) belum selesainya penetapan batas laut Indonesia dengan negara tetangga; (5) rusak dan tercemarnya ekosistem pesisir dan laut; (6) sering terjadi konflik pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan karena belum tertatanya ruang laut dan pesisir.
Dalam pelaksanaan pembangunan bidang energi dan sumber daya mineral, kebutuhan akan BBM dalam negeri dalam kurun waktu 20 tahun terakhir meningkat, dengan laju pertumbuhan sekitar 5–6% per tahun. Namun, hal ini tidak diikuti dengan peningkatan produksi minyak bumi. Bahkan, produksi minyak bumi pada lima tahun terakhir mengalami penurunan yang cukup berarti. Hal ini disebabkan oleh karena: a) tidak ditemukannya cadangan baru dengan skala besar untuk dapat dikembangkan; dan b) sebagian besar dari lapangan minyak yang saat ini sedang berproduksi merupakan lapangan tua – mengalami penurunan produksi secara alamiah sebesar kurang lebih 15% per tahun. Investasi (eksplorasi) di bidang migas juga tidak berkembang terutama disebabkan oleh terbitnya beberapa peraturan yang memberatkan investor, seperti pemberlakuan pajak pertambahan nilai (PPN) dalam tahap eksplorasi, pemberlakuan bea masuk terhadap barang-barang impor Migas, dan pembatasan kegiatan eksplorasi di kawasan hutan lindung. Pemanfaatan dan pengembangan gas bumi saat ini belum mencerminkan keseimbangan antara kebutuhan dalam negeri dan ekspor. Sebagian besar gas bumi diekspor dalam bentuk liquified natural gas (LNG). Kelangkaan pasokan gas bumi terjadi dibeberapa daerah misalnya di Jawa Timur, untuk kepentingan tenaga listrik, dan di Aceh, untuk bahan baku pabrik pupuk dan petrokimia. Terbatasnya prasarana tranportasi gas bumi merupakan hambatan yang utama dalam pemanfaatan gas bumi untuk kebutuhan dalam negeri, disamping masih tingginya ongkos produksi gas bumi dibandingkan dengan tingkat kemampuan konsumen gas dalam negeri, terutama rumah tangga.
Persoalan utama yang dihadapi dalam pengelolaan lingkungan hidup diantaranya adalah peningkatan pencemaran air, penurunan kualitas udara khususnya di kota-kota besar, kerusakan habitat ekosistem pesisir dan laut yang semakin parah, ancaman terhadap keanekaragaman hayati, kekurangan sumber air bersih di daerah tertinggal/sulit air, lemahnya harmonisasi peraturan perundangan lingkungan hidup, dan rendahnya kesadaran masyarakat yang dalam pemeliharaan lingkungan. Berbagai persoalan lingkungan hidup tersebut telah menurunkan kualitas media lingkungan hutan, tanah, air tanah dan air permukaan, udara dan atmosfir, pantai dan laut, yang berakibat pada penurunan kualitas lingkungan sebagai penyangga kehidupan.
Bila ditinjau dari luas wilayah Indonesia, jumlah stasiun pemantauan yang ada saat ini belum cukup untuk dapat memberikan pelayanan informasi meteorologi dan geofisika ke seluruh wilayah Indonesia. Enam stasiun meteorologi maritim, 21 stasiun klimatologi, dan 31 stasiun geofisika yang ada saat ini masih jauh dari cukup. Kualitas data sangat dipengaruhi oleh keakurasian sistem peralatan yang digunakan serta pelaksanaan kalibrasi peralatan tersebut. Pemantauan fenomena meteorologi dan geofisika harus dilakukan secara terus menerus, tidak mengenal batas wilayah serta diperlukan aksesibilitas pertukaran data dan informasi secara mudah dan cepat. Kondisi sarana komunikasi meteorologi dan geofisika saat ini dirasakan masih belum dapat memenuhi tuntutan kebutuhan operasional tersebut. 

0 komentar:

Posting Komentar