Apakah BI terlalu besar kekuasaannya?
Sejak awal digagasnya soal independensi BI telah terjadi pro
kontra. Amandamen UU BI tahun 2004 pun ditengarai berasal dari
upaya mengurangi kekuasaannya yang dianggap terlampau besar
oleh sebagian pihak. Namun, amandemen yang akhirnya ditetapkan
tidak berarti banyak bagi maksud itu. Pembatasan pada kekuasaan BI
hanya bersifat prosedural dan administratif mengenai transparansi
90 BANK BERSUBSIDI BEBANI RAKYAT
dan keharusan mempublikasikan berbagai dasar pemikiran
kebijakannya saja.
Keberatan dari mereka yang kontra di tahun 1999 antara lain
memakai alasan keterlibatan BI atau oknumnya sebagai salah satu
penyebab krisis. Tentu saja mereka tidak bisa menerima logika dari
status “tertuduh”, BI malah diberi kekuasaan yang lebih besar. Akan
tetapi, argumen BI mengenai kelemahan mereka dalam mencegah
dan menangani krisis adalah karena kurangnya “kekuasaan” ternyata
lebih diterima oleh DPR. Wajar jika pihak yang amat kritis menilai ada
tekanan dari IMF dalam soal itu.
Keberatan pada saat ini memakai alasan kinerja perekonomian
nasional yang masih belum sesuai harapan. Dilihat dari tolok ukur
perundang-undangan, BI tampak telah menjalankan fungsinya
dengan baik, terutama sekali dalam menjaga stabilitas keuangan dan
stabilitas moneter, serta memulihkan kepercayaan atas perbankan
nasional. Namun diingatkan bahwa semua itu bertujuan agar
perekonomian bisa berkembang dengan optimal. Optimalitas tersebut
mesti diukur dengan seluruh parameter makroekonomi, dimana
inflasi hanya salah satu diantaranya. Parameter lain yang tidak kalah
penting (bahkan lebih penting menurut sebagian ekonom) adalah
pertumbuhan output dan penciptaan kesempatan kerja. Begitu pula
dengan kondisi mikroekonomi, karena menyangkut pemerataan dan
keadilan sosial, serta merupakan fundamental perekonomian untuk
jangka panjang.
Kekuasaan BI saat ini bisa dibayangkan besarnya dengan melihatnya
sebagai otoritas moneter satu-satunya, pengatur perbankan
sekaligus otoritas pengawas perbankan. Kedudukan hukum BI yang
unik memperkokoh kekuasaan itu. Sebagian masyarakat mungkin
kurang sadar bahwa kedudukan Peraturan Bank Indonesia setara
dengan Peraturan Pemerintah, karena hanya satu tingkat di bawah
Bank Indonesia 91
undang-undang. Kita belum melihat adanya kasus judicial review
terkait peraturan BI, entah karena memang tidak ada masalah atau
kurang difahaminya persoalan ini.
Selain itu, sumber pendanaan BI dan penggunaannya bersifat
sangat independen, sekalipun harus diaudit oleh BPK. Namun,
karena sifat akuntansi bank sentral adalah khusus, maka tetap sulit
bagi publik untuk memahami apa arti sebenarnya dari pemeriksaan
tersebut. Soal pengelolaan dana ini kembali mencuat ketika
terungkap adanya aliran dana dari pihak BI kepada oknum DPR
dalam pembahasan amandemen UU tentang BI. Timbul kecurigaan,
aktivitas pengucuran dana semacam itu mungkin saja telah terjadi
berulangkali. Sudah menjadi pengetahuan umum pula bahwa
“kesejahteraan” pegawai BI jauh lebih baik daripada pegawai
departemen atau lembaga negara lainnya.
Sementara itu, sejauh hasil yang dipublikasikan dari rapat koordinasi
dan konsultasi BI dengan DPR, sebagai bagian dari kontrol, maka
hal-hal yang dibicarakan bersifat terlampau umum. Tidak ada
kontrol yang berarti atas operasional BI. Bahkan, dari sisi pemerintah,
ada kewajiban untuk mengundang pimpinan BI dalam rapat kabinet
terkait bidang ekuin. Namun, tidak berlaku untuk hal sebaliknya.
Pihak BI seakan-akan hanya “goyah” kekuasaannya pada saat
pemilihan gubernur dan deputi gubernurnya. Pada saat itu, Presiden
dan DPR memiliki peran yang menentukan. Namun, perlu dicatat
bahwa hampir seluruh nama yang kemudian dipilih adalah berasal
dari internal BI atau pernah menjadi pejabat BI. Semua anggota
Dewan Gubernur BI saat ini adalah orang-orang yang pada saat krisis
sudah memiliki jabatan cukup penting di BI.
Soal pemilihan Gubernur BI juga mengisyaratkan kemungkinan
masalah lain dibalik keindependenan dan besarnya kekuasaan BI.
Dengan prosedur pemilihan yang demikian, sementara kekua-
92 BANK BERSUBSIDI BEBANI RAKYAT
saannya kemudian amat besar, maka terbuka peluang besar bagi
bermainnya segala kepentingan (vested interest).
Perlunya BI yang independen memang masih sulit dibantah.
Argumen itu menjadi lebih kuat lagi jika informasi tentang langkahlangkah
BI menjelang krisis dahulu adalah benar. Bisa dikatakan
bahwa campur tangan berlebih dari pemerintah terbukti berakibat
fatal. Namun, pertanyaannya adalah seberapa independen dan terhadap
siapa? Sifat independen mestinya bukan berarti tanpa ukuran
yang terkait kepentingan seluruh bangsa. Apalagi jika independensi
yang berlebihan justeru memungkinkan oknum pejabat BI mengedepankan
kepentingannya sendiri, yang bernuansa moral hazard.
Category:
Bank dan L Keuangan
0
komentar
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar