Categories

Lesson 6

Blog Archive

Follower

Statistik

Get Gifs at CodemySpace.com

Diskusi Kontemporer



Nasionalisme tidak akan pernah selesai diper-debatkan karena dialah
satu-satunya ideologi yang sungguh-sungguh mengikat dan mempersatukan
sekelompok masyarakat dalam sebuah perasaan yang sama dan tekad untuk
untuk membangun kehidupan bersama. Kalau diperhatikan perdebatan
mengenai nasionalisme dewasa ini (kontemporer), dikotomi nasionalisme
sebagai identitas kultural atau identitas politis akan terus mewarnai
perdebat-an ini.
Lima pemikir di bawah ini diambil sebagai contoh untuk menunjukkan
diskusi kontemporer mengenai nasionalisme. Setelah itu, pemikiranpemikiran
mereka akan kita simpulkan. Dari sana kita mencoba memahami
pembentukan sebuah negara berdaulat berdasarkan semangat nasionalisme.
• Ernest Gellner
Ernest Gellner memahami nasionalisme seba-gai proses pembentukan
kultur suatu bangsa. Gellner mengenal dan membedakan kebudayaan

tinggi atau high culture dan kebudayaan rendah atau low culture. Kalau
nasionalisme dipahami sebagai proses pembentukan kultur bangsa, maka
yang Gellner maksudkan adalah proses pembentukan high culture sebuah
bangsa. Dalam proses ini kultur yang sifatnya tinggi tersebut
dikodifikasi.
Ada dua pertanyaan yang dapat diajukan antara lain :
1. apa yang dimaksud dengan kebudayaan tinggi dan kebudayaan
rendah?
2. apa yang dimaksud dengan kodifikasi kebudayaan dan menga-pa hal
itu perlu dilakukan?
Sekali lagi, high culture adalah kebudayaan yang oleh sebuah negara
dianggap bernilai tinggi dan pantas dijadikan sebagai kebudayaan
nasional.
Menurut Gellner, kriteria sebuah kebudayaan bernilai tinggi atau
rendah adalah apakah kebudayaan tersebut rasional atau tidak. Misalnya
sikap ramah (hospitality) suatu kelompok masyarakat menerima siapa
saja yang datang dalam hidup mereka. Kare-na dapat dipahami secara
rasional, sikap ramah dapat diterima menjadi salah satu kebudayaan
nasional. Sebaliknya, jika suatu adat, kebiasaan atau hasil karya yang
membahayakan hidup orang lain atau menggangu ketenteraman hidup
orang lain akan sulit diterima dan diakui sebagai bagian dari kebudayaan
nasional. Dalam kasus seperti ini negara bisa saja menolak bahkan
melarang kebudayaan seperti itu. Ingat, arti kebudayaan adalah
keseluruhan hasil cipta, rasa, dan karsa manusia.
Proses pembentukan high culture dalam nasionalisme adalah proses
standardisasi kebudayaan nasional. Standardisasi ini selain dapat
mengalahkan, memperlemah, atau membunuh kebudayaan-kebudayaan
lokal atau kedaerahan, dapat juga membunuh kebudayaan-kebudayaan
yang sifatnya etnik yang sebetulnya telah ada sebelum adanya negara.
Negara sebenarnya bukan hanya dapat mengadopsi salah satu
kebudayaan etnik yang ada menjadi kebudayaan nasional, tetapi juga
menolak atau melarangnya. Misalnya, pemerintah Inggris mengizinkan
kebebasan beragama dan beribadah di Inggris, tetapi melarang
pengajaran agama Kristen di sekolah dasar dan sekolah lanjutan. Dalam
contoh yang paling terakhir, pemerintah Inggris mengizinkan sekolahsekolah
melarang pemakaian jilbab di sekolah bagi siswi muslim dengan
alasan supaya semua siswa-siswi dapat berbaur tanpa hambatan atau
halangan eksternal dan internal.
Bagaimana dengan Indonesia? Orde Baru sangat mengutamakan
kodifikasi atau standardisasi kebudayaan nasional ini. Dalam bidang
agama, misalnya. Orde Baru melarang sekte-sekte dari suatu agama bila
praktik ritual mereka dipandang mengganggu ketertiban umum dan
membahayakan kehidupan berbangsa dan bernegara. Begitu juga dengan
bentuk atau ungkapan kebudayaan lainnya. Dalam arti ini praktik-praktik
keagamaan dari sekte-sekte tertentu itu bukan merupakan kebudayaan
nasional. Pemerintah Orde Baru bahkan berani menentukan agama mana
yang resmi dan agama mana yang tidak resmi. Agama yang resmi
menurut versi Orde Baru dapat dianggap sebagai high culture, sementara
di luar itu adalah low culture.
Yang dimaksud dengan kodifikasi kebudayaan adalah proses
standardisasi kebudayaan. Dengan kata lain, proses menentukan mana
kebudayaan yang dapat menjadi kebudayaan nasional dan mana
kebudayaan yang harus ditolak. Kodifikasi ini dilakukan untuk menjamin
keberlangsungan hidup suatu bangsa. Meskipun demikian, sering terjadi
bahwa kodifikasi ini sengaja dilakukan penguasa atau elit politik tertentu
dengan maksud untuk melanggengkan kekuasaan mereka. Dalam arti itu
kodifikasi kebudayaan didahului oleh adanya propaganda yang sifatnya
sangat ideologis.
Menurut Gellner, kodifikasi kultur sebenarnya dimaksud untuk
mencegah monopoli penentuan kultur nasional hanya oleh elit atau
kelompok tertentu saja. Nah, ini berarti dalam menentukan mana
kebudayaan yang tinggi dan mana yang rendah ha-rus mengikutsertakan
seluruh lapisan masyarakat. Bagi Gellner, proses kodifikasi dengan
mengikut-sertakan masyarakat ini sangat mungkin untuk dilakukan,
karena pendidikan massal telah berhasil menyatukan negara dan
kebudayaan secara bersama. Setelah terjadinya proses kodifikasi atau
standardisasi kebudayaan nasional biasanya diikuti de-ngan pendirian
museum-museum, penulisan sejarah negara, pendirian badan-badan
ilmiah tertentu yang bertujuan mempropagandakan dan menyebarluaskan
pengetahuan resmi (pemerintah).
Pandangan Ernest Gellner bukan tanpa kele-mahan. Kelemahan utama
pandangan Gellner adalah bahwa high culture bersifat sangat rasional.
Dalam hal ini, rasionalitas tampaknya terlalu diagung-agungkan.
Bagaimana dengan low culture? Apakah identitas kebangsaan hanya
dibentuk oleh high culture? Apakah low culture seperti praktik-praktik
kultik atau ritus-ritus agama tertentu atau praktik-praktik magi dan
sebagainya harus dikendalikan dan dilarang karena sifatnya yang tidak
rasional. Dewa-sa ini lebih diterima bahwa low culture juga menguntungkan
bagi pembentukan identitas kebang-saan.
Dalam arti ini pemerintah atau negara tidak perlu melarang praktikpraktik
magi dan perdukunan sejauh praktik-praktik tersebut tidak
membahayakan hidup masyarakat itu sendiri. Karena itu, pemikiran
sementara orang untuk melarang praktik magi atau membuat perangkat
hukum untuk menghukum praktik santet bukan hanya tindak-an yang
tidak masuk akal, tetapi juga tindakan yang bodoh.
Kalau kamu perhatikan acara-acara televisi kita dewasa ini, banyak
sekali dipenuhi dengan acara setan, alam gaib, dan semacam-nya.
Menurut kategori Gellner, semua ini adalah low culture, karena tidak
rasional. Meskipun demikian, ungkapan kebudayaan seperti ini ikut
membentuk identitas kebudayaan Indonesia. Sejauh tidak membahayakan
ketertiban umum, ekspresi kebudayaan seperti itu sah-sah saja eksis di
bumi pertiwi Indonesia.
• Eric Hobsbawn
Berbeda dengan Gellner yang memahami na-sionalisme sebagai
proses pembentukan high cultu-re sebuah bangsa, nasionalisme menurut
Eric Hobsbawn dipahami sebagai pembentukan iden-titas kebangsaan.
Pertanyaannya, siapa yang mem-bentuk identitas kebangsaan itu?
Apakah identitas kebangsaan dibentuk oleh seluruh warga masyarakat
atau hanya kelompok elit saja? Hobsbawn berpendapat bahwa yang
membentuk identias kebang-saan adalah elit. Masyarakat pada umumnya
tidak ikut serta dan tidak diikutsertakan dalam proses pembentukan
identitas kebangsaan.
Dalam proses pembentukan identitas kebangsaan ini elit umumnya
menciptakan simbol-simbol yang dapat mendukung tercapainya identitas
ke-bangsaan. Misalnya, untuk menunjukkan bahwa identitas bangsa
sebagai bangsa bahari, para elit menciptakan simbol-simbol yang
berhubungan dengan dunia bahari. Misalnya, kapal laut, perahu nelayan,
patung nelayan, dan sebagainya. Setelah diciptakan, simbol-simbol ini
kemudian ditafsirkan oleh para elit. Tafsiran tersebut umumnya menggambarkan
identitas ideal suatu bangsa.
Simbol-simbol dalam bentuk monumen-monumen menjadi contoh
yang sangat jelas bagaimana identitas kebangsaan hendak dibangun. Di
Indonesia kita memiliki banyak sekali monumen yang maknanya penuh
dengan nilai-nilai kebangsaan. Kalian bisa mendalami apa makna di balik
simbol Monumen Nasional (Monas), monumen Pancasila sakti, dan
monumen proklamator di Jakarta.
Menurut Hobsbawn, dalam membentuk identitas kebangsaan, para elit
juga berusaha menafsirkan tradisi-tradisi sebegitu rupa, dengan dukungan
ideologi tertentu, dengan maksud untuk menghubungkan identitas
kebangsaan sampai ke masa yang sangat lampau. Penciptaan identitas
kebangsaan semacam ini biasanya juga mengedepankan nilai-nilai luhur
nenek moyang suatu bangsa yang dapat dijadikan anutan masyarakat
dewasa ini.
Misalnya, Indonesia ingin menanamkan nilai-nilai kebangsaan dengan
belajar dari nilai-nilai kebangsaan yang ada pada Kerajaan Sriwijaya.
Menurut Dr. P.J. Suwarno (Pancasila Budaya Bangsa Indonesia,
Kanisius, Yogyakarta: 1993, hlm. 20-21), Sriwijaya yang berpusat di
Sumatra, telah mempraktikkan nilai-nilai persatuan, ketuhanan,
kemasyarakatan, ekonomi, dan hubungan internasional. Di mata para elit,
nilai-nilai hidup yang ada dalam masyarakat Kerajaan Sriwijaya ini
menjadi bukti bahwa sudah sejak lama bangsa Indonesia memiliki
kepribadian atau identitas bangsa yang agung dan luhur.
Tidak hanya itu. Menurut Eric Hobsbawn, dalam membentuk identitas
kebangsaan, para elit juga sering mengadakan perayaan-perayaan dan
upa-cara-upacara kenegaraan. Melalui perayaan-perayaan semacam
inilah para elit menanamkan dalam diri masyarakat akan nilai-nilai luhur
bangsanya, misalnya dengan merenungkan kembali jasa-jasa para
pahlawan bangsa, dan sebagainya. Karena itu, jangan heran jika dalam
suatu negara perayaan-perayaan kenegaraan dianggap sebagai bagian
yang penting dari proses pembentukan identitas kebangsaan.
Bagi Hobsbawn, massa rakyat menerima begitu saja simbol-simbol
dan propaganda-propaganda yang dilancarkan elit. Di sini sering kali
orang lupa, bahwa elit melakukan propaganda melalui simbol-simbol dan
perayaan-perayaan keagamaan tidak hanya sebatas menyimbolkan
perasaan menjadi bagian dari suatu bangsa. Elit melakukan ini juga
dengan tujuan melegitimasikan kekuasaan mereka.
Bagaimana kita menyikapi pandangan Eric Hobsbawn ini? Ada dua
kelemahan utama yang dapat dikemukakan, yakni Pertama, Massa rakyat
dianggap bodoh. Rakyat dianggap tidak memiliki sikap kritis dan hanya
menerima begitu saja penciptaan simbol-simbol dalam proses
pembentukan identitas bangsa. Rakyat juga dianggap bodoh dan
mengikuti sa-ja upacara-upacara kenegaraan tanpa mempertanyakan
relevansinya. Pandangan semacam ini sudah tidak sesuai lagi dengan
keadaan sekarang.
Kedua, Eric Hobsbawn lupa, bahwa simbol yang dicip-takan oleh para
elit sebenarnya bukan semata-mata merepresentasikan sesuatu. Simbolsimbol
tersebut juga memberi kemungkinan agar orang lain selain elit
atau penguasa menerap-kan makna ke dalam simbol-simbol tersebut.
Dengan demikian, jarang terjadi bahwa simbol-simbol atau upacara
kenegaraan hanya memiliki makna tunggal. Bagi para elit, upacara 17
Agustus dapat menjadi momen pembentukan iden-titas bangsa. Akan
tetapi bagi sebagian orang, upacara 17 Agustus adalah saat di mana
rakyat berpesta makan, minum, dan mengadakan pertandingan olahraga
di lingkungan masing-masing tanpa ada hubungan dengan semangat
nasionalisme. Di sini Hobsbawn lupa bahwa makna harus bersifat plural,
juga dalam produksi identitas kebangsaan. Masyarakat mampu
menciptakan simbol dan menafsirkan sesuai kehendak mereka.
• Benedict Anderson
Nama ahli politik yang satu ini cukup dikenal di Indonesia. Dia
menulis buku Imagined Community yang amat terkenal. Guru besar ilmu
politik dari Cornell University (AS) ini adalah salah seorang Indonesianis
garda depan.
Benedict Anderson memahami nasionalisme sebagai komunitas
khayalan (imagined community) yang disatukan oleh sebuah
persahabatan horisontal yang mendalam di mana anggota-anggotanya
diyakini mengkonstitusi (menciptakan) sebuah en-titas yang kuat dan
utuh.
Bagi Anderson, komunitas khayalan ini ada atau terbentuk karena
kekuatan media massa, khususnya media cetak. Media cetak sangat
berperan dalam menyebarluaskan diseminasi (penggandaan) gagasan/ide
dari bangsa. Anderson menekankan bahwa bacaan atas surat kabar harian
atau majalah mingguan yang secara teratur dan sinkronik membentuk
para pembacanya untuk berbagi perasaan, gagasan atau serangkaian
minat bersama, karena isi dan fokus dari berita. Menurut Anderson,
penga-laman kebangsaan berakar setiap hari karena sha-red reading ini.
Mari kita kemukakan sebuah contoh untuk menjelaskan konsep yang
abstrak ini. Tanggal 26 Desember 2004 gelombang tsunami
menghancurkan Provinsi Nangro Aceh Darussalam dan mene-waskan
ratusan ribu orang. Seluruh masyarakat bangsa Indonesia ikut bersedih
dan membantu saudaranya yang tertimpa musibah tersebut. Perasaan
bahwa Aceh adalah bagian dari saudara kita umumnya ditimbulkan oleh
media massa yang kita baca, tonton, atau dengar. Kalian bisa bayangkan
apa jadinya kalau bencana itu terjadi pada zaman di mana media massa
belum mengalami kemajuan seperti sekarang ini. Barangkali tidak akan
muncul banyak orang yang mengetahui dan membantu.
Nah, kira-kira proses pembentukan nasionalisme menurut Benedict
Anderson terjadi seperti itu. Suatu komunitas pada akhirnya memiliki
perasaan kebangsaan yang sama karena perasaan itu ditimbulkan oleh
kesamaan minat dan perhatian mereka. Kesamaan minat dan perhatian itu
ditimbulkan oleh media cetak (koran dan majalah) yang mereka baca.
Kesamaan minat dan perhatian itu pada gilirannya memicu perasaan
komunitas tersebut untuk mengkhayalkan sebuah masyarakat tempat
mereka hidup bersama sebagai warga masyarakat. Wujud konkret dari
komunitas khayalan itu adalah negara.
Konflik antara Indonesia dan Malaysia di perairan Ambalat yang
memicu gelombang protes masyarakat Indonesia pun dapat dipahami
dengan memakai pemahaman Anderson ini. Harus diakui bahwa kita
mengetahui adanya konflik tersebut dari media massa. Media massalah
yang menimbulkan perasaan kebangsaan kita. Kehadiran kapal-kapal
perang dan tentara Indonesia yang siaga dua puluh empat jam memicu
khayalan kita untuk membayangkan sebuah keutuhan wilayah dan
kebesaran bangsa Indonesia. Khayalan-khayalan seperti inilah yang
menyatukan masyarakat dalam gelombang protes terhadap tindakan
sewenang-wenang Malaysia. Di sini memang perasaan lebih memainkan
peran daripada pikiran. Nasionalisme sebagai imagined community harus
lebih menonjolkan perasaan daripada pikiran.
Bagaimanapun juga, pemikiran Anderson ada kelemahannya juga.
Kelemahaman pandangan Anderson adalah bahwa dia hanya
menekankan peran media cetak dalam menghasilkan kultur dan identitas
kebangsaan. Padahal masih ada lagi produksi kultur dan identitas
kebangsaan melalui ruang musik (music hall) dan teater, musik-musik
popular, pesta-pesta, arsitektur, fesyen, juga melalui televisi, film, radio,
dan teknologi informasi lainnya.
• Anthony Smith
Masih ingat pandangan Ernest Gellner dan Eric Hobsbawn mengenai
nasionalisme? Di atas sudah dikemukakan kelemahan-kelemahan dari
pandang-an mereka. Nah, Anthony Smith sendiri mengkhususkan diri
untuk mengkritik secara tajam pandangan Gellner dan Hobsbawn tentang
sifat nasionalisme. Gellner dan Hobsbawn berpendapat bahwa
nasionalisme adalah produk modern, jadi masa-masa sebelum zaman
modern belum ada nasionalisme. Bagi Smith, nasionalisme atau perasaan
kebang-saan sudah ada jauh sebelum lahirnya suatu bang-sa. Perasaan
kebangsaan sudah ada bahkan dalam diri kelompok etnis yang kemudian
mendorong me-reka untuk membentuk negara itu sendiri.
Di sini Smith memahami etnisitas sebagai kelompok sosial dengan
identitas tertentu dan yang membedakan diri mereka dari orang lain.
Umumnya kelompok-kelompok etnis membentuk sendiri batas-batas
(boundaries) dan menciptakan simbol-simbol yang menjadi tanda bahwa
“kita” (us) berbeda dari “mereka” (they). Dalam perkembangannya,
kelompok-kelompok etnis semacam ini bisa saja membentuk sebuah
negara. Kalau ini yang terjadi, maka nasionalismenya bersifat
nasionalisme etnik.
Selain berpendapat bahwa perasaan dan identitas kebangsaan sudah
ada jauh sebelum terbentuknya sebuah negara, Smith juga berpendapat
bahwa nasionalisme berhubungan dengan pembentukan identitas
nasional suatu bangsa. Pembentukan identitas nasional dapat terjadi
melalui penciptaan simbol-simbol nasional. Bagi dia, simbol-simbol
nasional tidak diciptakan sepihak oleh elit, tapi oleh berbagai kelompok
yang berbeda. Karena mengikutsertakan banyak kelompok masyarakat
dalam penciptaan simbol-simbol nasional, maka sering terjadi konflik
dalam proses penciptaan simbol-simbol nasional ini. Konflik-konflik
tersebut wajar dan perlu sejauh tidak membawa perpecahan bangsa.
Menurut Smith, dalam menciptakan simbol-simbol tersebut tidak ada
cetak biru (blue print) yang siap dipakai sebagai contoh. Tidak hanya itu.
Bah-kan dalam proses pembentukan kebudayaan nasio-nal pun tidak ada
cetak biru. Karena itu, seluruh lapisan masyarakat benar-benar harus
terlibat dan berpartisipasi dalam proses pembentukan identitas nasional
dan kebudayaan bangsanya.
Jika terjadi bahwa dalam proses pembentukan identitas bangsa melalui
penciptaan simbol-simbol tersebut tidak ada serangakaian simbol yang
dapat diterima bersama, maka pada saat ini kelompok-kelompok sosial
yang ada harus memilih simbol-simbol yang multipel dengan maksud
supaya kelompok-kelompok yang berbeda pandangan dapat didorong
untuk menerima dan mengidentifikasikan dirinya dengan simbol-simbol
tersebut.
Menurut Smith, dapat saja terjadi bahwa ada kebudayaan dari etnis
tertentu yang diterima sebagai kebudayaan nasional asal memenuhi
persyaratan. Syaratnya adalah kebudayaan dari etnis tersebut harus
masuk akal dan kredibel. Perhatikan di sini bahwa masuk akal tidak sama
dengan rasional. Sesuatu yang masuk akal belum tentu rasional,
sementara sesuatu yang rasional sudah tentu masuk akal. Ziarah ke
kuburan dan bersemedi untuk meminta “berkat dan pertolongan” dari
arwah nenek moyang atau tokoh-tokoh terkenal yang sudah mati
memang tidak rasional, tetapi masuk akal. Karena itu upacara seperti ini
dapat menjadi ekspresi dari kebudayaan nasional Indonesia
Dengan pandangan semacam ini Smith sebetulnya memiliki
pemahaman yang sangat baik mengenai kebudayaan. Bagi dia,
kebudayaan adalah sesuatu yang dinamis. Sifat dinamis ini ada karena
proses pembentukannya tidak mengikuti cetak biru tertentu, tetapi proses
bersama dari seluruh anggota masyarakat. Selain itu, kebudayaan suatu
bangsa terdiri dari macam-macam unsur, an-tara lain unsur repository
(kebudayaan-kebudayaan yang sudah ada sekarang dan masih
terpelihara), unsur warisan antargenerasi, serangkaian tradisi, dan
pembentukan secara aktif makna dan imaji-imaji oleh masyarakat itu
sendiri. Unsur yang terakhir ini—pembentukan secara aktif makna dan
imaji-imaji oleh masyarakat itu sendiri—terejawan-tah dalam nilai-nilai,
mitos-mitos, dan simbol-simbol yang pantas untuk menyatukan
sekelompok orang dengan pengalaman-pengalaman dan kenangankenangan
yang sama dan yang membeda-kan me-reka dari kelompok
luar.
Sebagai kritik terhadap pandangan Gellner dan Hobsbawn, pandangan
Anthony Smith nyaris sempurna; karena itu tidak perlu dikritik. Kita
akan kembali ke pandangan-pandangannya ketika membica-rakan
proyeksi nasionalisme Indonesia dan pembentukan negara Republik
Indonesia.
• Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo
Sebagai sejarawan, Prof. Sartono Kartodirdjo tentu saja merefleksikan
nasionalisme dari pers-pektif Indonesia. Tidak dapat dipungkiri,
nasionalisme Indonesia timbul sebagai reaksi terhadap kolonialisme
Belanda dan Jepang.
Dalam artikelnya berjudul Kebangkitan Nasional dan Nasionalisme
Indonesia (Lihat: http://202.159. 18.43/jsi/1sartono.htm), Sartono
berpendapat bahwa nasionalisme pertama-tama adalah penemuan
identitas diri. Ini merupakan tingkat yang paling primordial di mana
kelompok masyarakat tertentu berusaha merumuskan identitas dirinya
berhadapan dengan kelompok-kelompok sosial lainnya. Identitas diri
tersebut, begitu selesai dirumuskan, akan menempatkan kelompok sosial
tersebut sebagai yang berbeda dengan kelompok sosial lainnya.
Dengan demikian, proses penemuan identitas diri sekaligus menjadi
proses penetapan boundaries yang membedakan “kelompok kita” dari
“kelompok mereka”.
Dalam konteks Indonesia, proses penemuan identitas diri ini muncul
pertama-tama karena pengalaman negatif dijajah oleh Belanda.
Penjajahan Belanda telah menghasilkan diskriminasi yang melembaga
yang menimbulkan rasa inferioritas dalam diri orang Indonesia sendiri.
Dalam kehidupan sehari-hari Belanda secara sengaja mendiskriminasi
orang-orang Indonesia melalui pakaian, bahasa, tempat tinggal, dan
simbol-simbol otoritas lainnya.
Menurut Sartono, pengalaman didiskriminasi seperti ini telah
mendorong kaum terpelajar Indonesia untuk membentuk organisasi
Boedi Oetomo (BO) pada tanggal 20 Mei 1908. Pembentukan BO ini
sendiri adalah antitesis terhadap sikap diskrimi-natif Belanda sekaligus
menjadi momen merumus-kan identitas kebangsaan Indonesia.
Wujud tertinggi dari proses pencarian dan perumusan identitas
kebangsaan ini adalah munculnya nasionalisme politik yang lebih jelas
arah dan tujuannya. Nasionalisme politik mengusung proyek
kemerdekaan Indonesia sebagai tujuan yang hendak dicapai. Nah, begitu
kesadaran kebangsaan seperti ini muncul, kesadaran ini sendiri langsung
membedakan bangsa Indonesia dari bangsa Belanda.
Nasionalisme politik kemudian diikuti dengan langkah-langkah
praktis-konkret upaya memperjuangkan kemerdekaan. Seluruh
perjuangan organisasi politik dan tentara Indonesia bermula dari penemuan
identitas kebangsaan semacam ini. Dalam arti ini BO memainkan
peran yang sangat penting sebagai organisasi yang mengintegrasikan
kaum kaum terpelajar dengan kaum elit lainnya dan sebagai simbol
identitas kolektif masyarakat. Boedi Oetomo mendefinisikan identitas
kolektif bangsa Indonesia, yakni ingin hidup merdeka dan bermartabat.

0 komentar:

Posting Komentar