Dengan
terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan r.a. tidaklah terselesaikan
persoalan-persoalan gawat yang dihadapi oleh kaum muslimin. Malahan muncul
krisis politik yang sifatnya lebih gawat, yang menuntut penanggulangan secara
tepat dan bijaksana. Beberapa waktu lamanya kehidupan kaum muslimin tanpa
pimpinan tertinggi dan situasi pemerintahan menjadi kosong.
Duniawi kontra Zuhud
Dalam situasi mengandung berbagai kemungkinan buruk itu, tokoh-tokoh Bani
Umayyah yang selama ini memperoleh kepercayaan penuh dari Khalifah Utsman
r.a., justru tidak mengambil tindakan apa pun juga. Marwan bin Al-Hakam dan
kawan-kawannya lari meninggalkan Madinah. Amr bin Al-Ash, pada saat-saat
Khalifah Utsman r.a. dikepung kaum muslimin yang memberontak, cepat-cepat
pergi ke Palestina. Sedangkan Muawiyah bin Abi Sufyan sendiri, tidak juga
mengambil inisiatif apa pun. Begitu pula Abdullah bin Abi Sarah yang sedang
menjadi penguasa daerah Mesir. Semuanya diam, seolah-olah tak pernah terjadi
suatu peristiwa politik yang besar dan gawat.
Orang bertanya-tanya: Mengapa para penguasa Bani Umayyah yang berkuasa di
Mesir dan di Syam tidak segera memberi pertolongan kepada Khalifah Utsman r.a.?
Kemudian setelah Khalifah Utsman r.a. terbunuh, mengapa mereka tak segera
mengirimkan pasukan untuk bertindak tegas terhadap kaum pemberontak dan
menangkap oknum-oknum yang merencanakan dan melaksanakan pembunuhan atas diri
Khalifah itu? Kenapa mereka berpangku tangan, padahal mereka mempunyai
kekuatan cukup untuk melakukan tindakan hukum, sebelum Khalifah yang baru di
angkat?
Pertanyaan-pertanyaan serupa itu adalah wajar. Sebab, para penguasa Bani
Umayyah dan tokoh-tokohnya bukan orang-orang yang baru dilahirkan kemarin.
Mereka cukup makan garam politik, terutama pada waktu mereka dulu
mengorganisasi dan memimpin orang-orang kafir Qureiys melancarkan perlawanan
bersenjata terhadap Rasul Allah s.a.w. dan kaum muslimin. Nampaknya mereka
bukan tidak bertindak, tetapi ada perhitungan lain.
Pada masa itu tokoh Bani Umayyah yang paling terkemuka ialah Muawiyah bin Abi
Sufyan. Akan tetapi sejarah keislamannya tidak memungkinkan dirinya dapat
dipilih sebagai Khalifah pengganti Khalifah Utsman bin Affan r.a. Ia memeluk
Islam setelah tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan diri dengan jatuhnya
kota Makkah ke tangan kaum muslimin. Ia masuk Islam kurang lebih dua tahun
sebelum wafatnya Rasul Allah s.a.w. Sebelum itu ia sangat gencar memerangi
kaum muslimin dalam usaha memukul Islam.
Dengan kata lain, selama masih ada sahabat-sahabat Rasul Allah s.a.w. yang
sejak dulu sampai sekarang masih gigih membela kebenaran agama Allah, seperti
Imam Ali r.a. dan lain-lain, harapan bagi Muawiyah untuk dapat dibai'at
sebagai Khalifah penerus Utsman r.a. tidak mungkin dapat terlaksana.
Usaha merebut atau mewarisi kekhalifahan Utsman r.a. lebih dipersulit lagi
oleh dua kenyataan:
1. Khalifah Utsman r.a. wafat akibat terjadinya konflik politik yang gawat
dengan rakyatnya sendiri.
2. Ia wafat meninggalkan warisan situasi pemerintahan yang sudah tidak
disukai oleh kaum muslimin.
Konflik politik dan warisan situasi yang tidak menguntung kan orang-orang,
Bani Umayyah itu perlu "dibenahi" lebih dulu untuk dapat meraih
kedudukan sebagai pengganti Khalifah Utsman r.a.
Muawiyah harus dapat menciptakan situasi baru, di mana konflik politik yang
sedang panas itu bisa dialihkan kepada sasaran baru. Untuk ini harus pula
dicari "kambing hitam" yang "tepat". Dalam hal ini ialah
orang yang mempunyai kemungkinan paling besar akan dibai'at oleh kaum
muslimin sebagai Khalifah. Imam Ali r.a. merupakan seorang tokoh yang paling
banyak mempunyai syarat untuk dibai'at. Ia bukan hanya anggota Ahlu-Bait
Rasul Allah s.a.w., melainkan juga ia seorang genial, ilmuwan dan pahlawan
perang.
Sudah sejak dulu, tokoh-tokoh Bani Umayyah selain Utsman r.a. memandang Imam
Ali r.a. dengan perasaan benci dan murka. Mereka tidak bisa melupakan betapa
banyaknya korban kafir Qureiys, termasuk sanak famili mereka, yang mati di
ujung pedang Imam Ali r.a. dalam pertempuran-pertempuran antara kaum
musyrikin dan kaum muslimin di masa lalu.
Mereka juga tahu, bahwa di masa Khalifah Utsman r.a. masih hidup, Imam Ali
r.a. satu-satunya orang yang selalu mengingatkan Khalifah tentang besarnva
bahaya yang akan timbul akibat permainan para pembantunya yang terdiri dari
orang-orang Bani Umayyah. Imam Ali r.a. jugalah yang selalu menasehati
Khalifah Utsman r.a. supaya mencegah berlarut-larutnya pacuan memperebutkan
harta kekayaan secara tidak sah, yang sedang terjadi di kalangan sementara
lapisan ummat lslam. Bahkan Imam Ali r.a. jugalah yang bila perlu melancarkan
kritik-kritik secara terbuka dan jujur terhadap kebijaksanaan Khalifah Utsman
r.a.
Tokoh-tokoh Bani Umayyah tahu benar, bahwa Imam Ali r.a. adalah juru bicara
yang paling mustahak mewakili jeritan sebagian besar kaum muslimin, yang
ingin dipulihkan kembali suasana kehidupan seperti yang pernah terjadi pada
zaman hidupnya Rasul Allah s.a.w.
Golongan Bani Umayyah memandang Imam Ali r.a. sebagai penghambat dan selalu
menjadi perintang bagi mereka dalam usaha meraih kedudukan dan
keuntungan-keuntungan materil. Seandainya Khalifah Utsman r.a. sebelum
wafatnya berwasyiat supaya Imam Ali r.a. dibai'at sebagai Khalifah
penggantinya, golongan Bani Umayyah sudah pasti tidak akan melaksanakannya.
Pertentangan antara Muawiyah dan pendukung-pendukungnya dengan Imam Ali r.a.
dan pendukung-pendukungnya, pada hakekatnya bukanlah pertentangan
antar-golongan, melainkan pertentangan antara kehidupan yang terangsang oleh
kenikmatan-kenikmatan duniawi dengan kehidupan zuhud. Hal ini akan terbukti
kebenarannya pada babak-babak terakhir dari proses pertentangan antara
keduabelah fihak.
Mencari Calon Pengganti
Dalam situasi tidak menentu, kaum pemberontak dan penduduk Madinah
berpendapat, bahwa hanya salah seorang di antara 5 orang sahabat dekat Rasul
Allah s.a.w. yang patut dibai'at sebagai Khalifah pengganti. Mereka itu ialah
yang dulu bersama-sama Utsman bin Affan r.a. pernah dicalonkan oleh Khalifah
Umar Ibnul Khattab r.a. sebelum wafatnya. Namun dari yang 5 orang itu, hanya
4 orang saja yang masih hidup. Abdurrahman bin A'uf sudah tiada.
Tragedi pembunuhan Khalifah Utsman r.a. sangat menggoncangkan dan memilukan
Sa'ad bin Abi Waqqash. Karena sebelum itu, Khalifah Umar r.a. juga mati
terbunuh, sungguhpun pembunuhnya bukan seorang muslim (tetapi majusi) dan
terjadinya bukan akibat konflik politik di antara sesama kaum muslimin. Oleh
karena itu Sa'ad bin Abi Waqqash mengambil keputusan untuk menjauhkan diri
sama sekali dari kegiatan politik kenegaraan dan kemasyarakatan. Ia tidak mau
melibatkan diri atau dilibatkan dalam proses pembai'atan seorang Khalifah
baru. Dengan demikian dari 4 orang sahabat Nabi Muhammad s.a.w. yang masih
hidup, kini hanya tinggal 3 orang saja yang dapat dicalonkan.
Jalan mennuju terbai'atnya Khalifah ke 4 ternyata tidak selicin seperti yang
diperkirakan orang. Dalam proses permulaan saja sudah menghadapi kesukaran
berat. Karena ketiga orang calon tersebut sudah tidak ada yang bersedia
dibai'at sebagai Khalifah. Usaha pendekatan yang dilakukan oleh kaum muslimin
yang memberontak terhadap Khalifah Utsman r.a. sukar diterima oleh tiga orang
sahabat Rasul Allah s.a.w. itu. Kemacetan berlangsung selama 8 hari.
Sedangkan kaum muslimin, baik yang tinggal di kota Madinah maupun yang di
daerah-daerah, cemas-cemas gelisah menantikan adanya pimpinan yang baru.
Tragedi pembunuhan kejam terhadap Khalifah Utsman r.a., dikuasainya ibukota
oleh kaum pemberontak, macetnya pemilihan Khalifah baru, semuanya merupakan
kerawanan yang amat berbahaya. Pasukan-pasukan muslimin yang sedang bertugas
di luar daerah dengan gelisah menunggu adanya instruksi-instruksi baru. Jika
krisis itu berlarut-larut, mereka sangat khawatir kalau-kalau musuh Islam
akan memanfaatkan krisis kepemimpinan itu sebagai peluang yang baik untuk
melancarkan serangan-serangan.
Di Mesir, seorang Kepala Daerah yang tidak disukai oleh penduduk dan dituntut
pemberhentiannya (Abdullah bin Abi Sarah) masih tetap berkuasa. bersama
dengan itu, seorang Kepala Daerah yang terkenal cakap dan erat hubungannya
dengan Khalifah Utsman r.a., yakni Muawiyah, hanya sibuk dalam kegiatan
meningkatkan kedudukannya.
Kaum pemberontak menyadari, tanpa kerjasama dan bantuan aktif kaum Muhajirin
dan Anshar, mereka tidak akan berhasil menentukan pengganti Khalifah Utsman
r.a. Setelah mengadakan pembahasan secara mendalam tentang situasi gawat yang
akan timbul akibat tidak adanya pemerintahan pusat, dan dengan dukungan kaum
Muhajirin dan Anshar, para sahabat Rasul Allah s.a.w., sepakat untuk secepat
mungkin mengadakan pemilihan seorang calon, yang akan dibai'at sebagai
Khalifah baru. Calon itu ialah Imam Ali r.a.
Imam Ali r.a. di Bai`at
Menurut penuturan Abu Mihnaf, sebagaimana tercantum dalam Syarh Nahjil Balaghah,
jilid IV, halaman 8, dikatakan, bahwa ketika itu kaum Muhajirin dan Anshar
berkumpul di masjid Rasul Allah s.a.w. Dengan harap-harap cemas mereka
menunggu berita tentang siapa yang akan menjadi Khalifah baru. Masjid yang
menurut ukuran masa itu sudah cukup besar, penuh sesak dibanjiri orang. Di
antara tokoh-tokoh muslimin yang menonjol tampak hadir Ammar bin Yasir, Abul
Haitsam bin At Thaihan, Malik bin 'Ijlan dan Abu Ayub bin Yazid. Mereka bulat
berpendapat, bahwa hanya Ali bin Abi Thalib r.a. lah tokoh yang paling
mustahak dibai'at.
Diantara mereka yang paling gigih berjuang agar Imam Ali r.a. dibai'at ialah
Ammar bin Yasir. Dalam mengutarakan usulnya, pertama-tama Ammar mengemukakan
rasa syukur karena kaum Muhajirin tidak terlibat dalam pembunuhan Khalifah
Utsman r.a.
Kepada kaum Anshar, Ammar menyatakan, jika kaum Anshar hendak
mengkesampingkan kepentingan mereka sendiri, maka yang paling baik ialah
membai'at Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah. Ali bin Abi Thalib, kata
Ammar, mempunyai keutamaan dan ia pun orang yang paling dini memeluk Islam.
Kepada kaum Muhajirin, Ammar mengatakan: kalian sudah mengenal betul siapa
Ali bin Abi Thalib. Oleh karena itu aku tak perlu menguraikan
kelebihan-kelebihannya lebih panjang lebar lagi. Kita tidak melihat ada orang
lain yang lebih tepat dan lebih baik untuk diserahi tugas itu!
Usul Ammar secara spontan disambut hangat dan didukung oleh yang hadir.
Malahan kaum Muhajirin mengatakan: "Bagi kami, ia memang satu-satunya
orang yang paling afdhal!"
Setelah tercapai kata sepakat, semua yang hadir berdiri serentak, kemudian
berangkat bersama-sama ke rumah Imam Ali r.a. Di depan rumahnya mereka
beramai-ramai minta dan mendesak agar Imam Ali r.a. keluar. Setelah Imam Ali
r.a. keluar, semua orang berteriak agar ia bersedia mengulurkan tangan
sebagai tanda persetujuan dibai'at menjadi Amirul Mukminin.
Pada mulanya Imam Ali r.a. menolak dibai'at sebagai Khalifah. Dengan terus
terang ia menyatakan : "Aku lebih baik menjadi wazir yang membantu
daripada menjadi seorang Amir yang berkuasa. Siapa pun yang kalian bai'at
sebagai Khalifah, akan kuterima dengan rela. Ingatlah, kita akan menghadapi
banyak hal yang menggoncangkan hati dan fikiran."
Jawaban Imam Ali r.a. yang seperti itu tak dapat diterima sebagai alasan oleh
banyak kaum muslimin yang waktu itu datang berkerumun di rumahnya. Mereka
tetap mendesak atau setengah memaksa, supaya Imam Ali r.a. bersedia dibai'at
oleh mereka sebagai Khalifah. Dengan mantap mereka menegaskan pendirian:
"Tidak ada orang lain yang dapat menegakkan pemerintahan dan hukum-hukum
Islam selain anda. Kami khawatir terhadap ummat Islam, jika kekhalifahan
jatuh ketangan orang lain…"
Beberapa saat lamanya terjadi saling-tolak dan saling tukar pendapat antara
Imam Ali r.a. dengan mereka. Para sahabat Nabi Muhammad s.a.w. dan para
pemuka kaum Muhajirin dan Anshar mengemukakan alasannya masing-masing tentang
apa sebabnya mereka mempercayakan kepemimpinan tertinggi kepada Imam Ali r.a.
Betapapun kuat dan benarnya alasan yang mereka ajukan Imam Ali r.a. tetap
menyadari, jika ia menerima pembai'atan mereka pasti akan menghadapi berbagai
macam tantangan dan kesulitan gawat.
Baru setelah Imam Ali r.a. yakin benar, bahwa kaum muslimin memang sangat
menginginkan pimpinannya, dengan perasaaan berat ia menyatakan kesediaannya
untuk menerima pembai'atan mereka. Satu-satunya alasan yang mendorong Imam
Ali r.a. bersedia dibai'at, ialah demi kejayaan Islam, keutuhan persatuan dan
kepentingan kaum muslimin. Rasa tanggung jawabnya yang besar atas
terpeliharanya nilai-nilai peninggalan Rasul Allah s.a.w., membuatnya siap
menerima tanggung jawab berat di atas pundaknya. Sungguh pun demikian, ia
tidak pernah lengah, bahwa situasi yang ditinggalkan oleh Khalifah Utsman
r.a. benar-benar merupakan tantangan besar yang harus ditanggulangi.
Keputusan Imam Ali r.a. untuk bersedia dibai'at sebagai Amirul Mukminin
disambut dengan perasaan lega dan gembira oleh sebagian besar kaum muslimin.
Kepada mereka Imam Ali r.a. meminta supaya pembai'atan dilakukan di masjid
agar dapat disaksikan oleh umum. Kemudian Imam Ali r.a. juga memperingatkan,
jika sampai ada seorang saja yang menyatakan terus terang tidak menyukai
dirinya, maka ia tidak akan bersedia dibai'at. Mereka dapat menyetujui
permintaan Imam Ali r.a., lalu ramai-ramai pergi menuju masjid.
Setibanya di Masjid, ternyata orang pertama yang menyatakan bai'atnya ialah
Thalhah bin Ubaidillah. Menyaksikan kesigapan Thalhah itu, seorang bernama
Qubaisah bin Dzuaib Al Asadiy menanggapi: "Aku Khawatir, jangan-jangan
pembai'atan Thalhah itu tidak sempurna!" Ia mengucapkan tanggapannya itu
karena tangan Thalhah memang lumpuh sebelah. Orang lain membiarkan komentar
itu lewat begitu saja.
Zubair bin Al-'Awwam segera mengikuti jejak Thalhah menyatakan bai'at kepada
Imam Ali r.a. Sesudah itu barulah kaum Muhajirin dan Anshar menyatakan
bai'atnya masing-masing. Yang tidak ikut menyatakan bai'at ialah Muhammad bin
Maslamah, Hasan bin Tsabit, Abdullah bin Salam, Abdullah bin Umar, Usamah bin
Zaid, Saad bin Abi Waqqash, dan Ka'ab bin Malik.
Tata cara pembai'atan dilakukan menurut prosedur sebagaimana yang lazim
berlaku atas diri Khalifah-khalifah sebelumnya. Sesuai dengan tradisi pada
masa itu, sesaat setelah dibai'at Amirul Mukminin Imam Ali r.a. menyampaikan
amanatnya yang pertama. Antara lain mengatakan:
"Sebenarnya aku ini adalah seorang yang sama saja seperti kalian. Tidak
ada perbedaan dengan kalian dalam masalah hak dan kewajiban. Hendaknya kalian
menyadari, bahwa ujian telah datang dari Allah s.w.t. Berbagai cobaan dan
fitnah telah datang mendekati kita seperti datangnya malam yang gelap-gulita.
Tidak ada seorang pun yang sanggup mengelak dan menahan datangnya cobaan dan
fitnah itu, kecuali mereka yang sabar dan berpandangan jauh. Semoga Allah
memberikan bantuan dan perlindungan.
"Hati-hatilah kalian sebagaimana yang telah diperintahkan oleh Allah
s.w.t. kepada kalian, dan berhentilah pada apa yang menjadi larangan-Nya.
Dalam hal itu janganlah kalian bertindak tergesa-gesa, sebelum kalian
menerima penjelasan yang akan kuberikan.
"Ketahuilah bahwa Allah s.w.t. di atas 'Arsy-Nya Maha Mengetahui, bahwa
sebenarnya aku ini tidak merasa senang dengan kedudukan yang kalian berikan
kepadaku. Sebab aku pernah mendengar sendiri Rasul Allah s.a.w. berkata:
"Setiap waliy (penguasa atau pimpinan) sesudahku, yang diserahi pimpinan
atas kaum muslimin, pada hari kiyamat kelak akan diberdirikan pada ujung
jembatan dan para Malaikat akan membawa lembaran riwayat hidupnya. Jika waliy
itu seorang yang adil, Allah akan menyelamatkannya karena keadilannya. Jika waliy
itu seorang yang dzalim, jembatan itu akan goncang, lemah dan kemudian
lenyaplah kekuatannya. Akhirnya orang itu akan jatuh ke dalam api
neraka…"
Demikianlah tutur Abu Mihnaf yang uraian riwayatnya tidak berbeda jauh dari
versi sejarah yang ditulis oleh beberapa penulis lain. Lebih jauh Abu Mihnaf
mengatakan, bahwa orang-orang yang tidak ikut serta menyatakan bai'at,
diminta oleh Imam Ali r.a. supaya menemuinya secara langsung pada lain
kesempatan.
Pada suatu hari ketika Abdullah bin Umar diminta pernyataan bai'atnya, ia
menolak. Ia baru bersedia membai'at Imam Ali r.a., kalau semua orang sudah
menyatakan bai'atnya. Melihat sikap Abdullah yang sedemikian itu, Al Asytar,
seorang sahabat setia Imam Ali r.a. dan terkenal sebagai pahlawan perang,
tidak dapat menahan kemarahannya. Kepada Imam Ali r.a., Al-Asytar berkata:
"Ya Amiral Mukminin, pedangku sudah lama menganggur. Biar kupenggal saja
lehernya!"
"Aku tidak ingin ia menyatakan bai'at secara terpaksa," ujar Imam
Ali r.a. dengan tenang menanggapi ucapan Al-Asytar. "Biarkanlah!"
Setelah Abdullah, datanglah Sa'ad bin Abi Waqqash atas panggilan Imam Ali
r.a. Ketika diminta pernyataan bai'atnya, ia menjawab supaya dirinya jangan
diganggu dulu. "Kalau sudah tidak ada orang lain kecuali aku sendiri,
barulah aku akan membai'at anda."
Mendengar keterangan Sa'ad itu, Imam Ali r.a. berkata kepada seorang
sahabatnya: "Sa'ad bin Abi Waqqash memang tidak berdusta. Biarkan saja
dia!" Imam Ali r.a. kemudian memperbolehkan Sa'ad meninggalkan tempat.
Waktu tiba giliran Usamah bin Zaid, ia mengatakan: "Aku ini kan maula
anda. Aku sama sekali tidak mempunyai persoalan atau niat hendak menentang
anda. Pada saat semua orang sudah menjadi tenang kembali aku pasti akan
menyatakan bai'at kepada anda."
Usamah lalu diperbolehkan meninggalkan tempat. Tampaknya Usamah bin Zaid
merupakan orang terakhir yang dipanggil untuk menyatakan bai'at. Sebab,
setelah itu tidak ada orang lain lagi yang dipanggil untuk diminta bai'atnya.
Delapan hari sepeninggal Khalifah Utsman bin Affan r.a., kini kaum muslimin
telah mempunyai Khalifah baru. Menurut catatan sejarah, jangka waktu 8 hari
itu merupakan waktu terpanjang dalam usaha penetapan seorang Khalifah. Satu
keadaan yang cukup menggambarkan betapa resahnya fikiran kaum muslimin pada
saat itu. Delapan hari lamanya kaum muslimin hidup tanpa pimpinan.
Kota Madinah yang sejak masa hidupnya Rasul Allah s.a.w. menjadi pusat
kepemimpinan agama dan pemerintahan, selama delapan hari itu berada dalam
keadaan serba tak menentu. Tidak ada kemantapan dan tidak ada ketertiban
hukum. Kaum pembangkang yang datang dari luar Madinah, banyak yang berusaha
mengadakan kegiatan pengacauan di kota tersebut. Beberapa kelompok kaum
Muhajirin dan Anshar mengalami berbagai hambatan dalam menentukan sikap.
Sedangkan pemuka-pemuka Bani Umayyah, secara diam-diam mulai
"mengkambing-hitamkan" Imam Ali r.a. Mereka melancarkan tuduhan,
bahwa Imam Ali r.a. lah yang "membunuh Utsman" atau
"melindungi kaum pemberontak". Dengan tuduhan itu mereka mengharap
Imam Ali r.a. akan ditinggalkan oleh para pendukungnya dan dengan demikian ia
bisa terguling dari kedudukannya sebagai Amirul Mukminin.
|
0 komentar:
Posting Komentar