Perkembangan pariwisata Bali
diakui mengubah masyarakat dengan budaya spiritual menjadi masyarakat
materialistis, dan secara fisik perubahan budaya masyarakat telah mengubah
ekologi. Karena itu, Pemerintah Provinsi Bali akan mengembalikan kebijakan satu
pintu dalam pengembangan pariwisata, menyusul kesepakatan bersama
antarkabupaten/kota.
Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali Ida Bagus
Sedhawa di Denpasar, Selasa (31/3), mengatakan, Pemprov Bali tengah
mengevaluasi dan menyusun ulang rencana tata ruang dan wilayah (RTRW) Pulau
Bali untuk 20 tahun ke depan dengan target tahun 2009 dapat disahkan DPRD Bali.
Rencana tata ruang dan wilayah ini diharapkan mampu mengendalikan dan menata
ulang pembangunan melalui pemetaan wilayah serta memiliki payung hukum yang
jelas.
Menurut Sedhawa, pihaknya optimistis kebudayaan Bali dapat kembali dalam waktu 20 tahun melalui
penerbitan RTRW. ”Kami tengah berupaya keras mengembalikan pariwisata yang
berbudaya berbasis agraria dengan pariwisata kerakyatan. Setidaknya ada upaya
sekarang ini mengembalikan kepercayaan masyarakat kembali kepada norma-norma
spiritual, di antaranya berbasis agraris,” ujarnya.
Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi
Bali Nengah Suarca mengatakan, ruang lingkup RTRW yang tengah diselesaikan itu
tidak hanya mengatasi karut-marutnya pembangunan karena pesatnya pariwisata.
Penyusunan RTRW untuk 20 tahunan itu juga mencakup pemetaan kawasan mana saja
yang diperbolehkan diubah karena investasi atau lainnya.
Pada tahun 1970-an, pengembangan pariwisata hanya
diperbolehkan di kawasan teben atau hilir, seperti (sekarang) kawasan Nusa Dua,
dan Sanur. Pengembangan tidak diperbolehkan di kawasan ulu atau atas, antara
lain Gunung Agung yang dianggap kawasan suci. Namun, dalam perkembangannya,
investasi pariwisata merambah ke mana-mana. Pembangunan hotel berbintang marak
di beberapa kawasan dan tidak memedulikan lagi kawasan ulu dan teben tersebut.
Diperoleh informasi, sejumlah bupati di Bali menyatakan telah berusaha keras untuk memastikan
agar pengembangan pariwisata di daerah mereka tetap sesuai dengan konsep Tri
Hita Karana atau keselarasan antara manusia, alam, dan Sang Pencipta. Untuk
itu, mereka berhati-hati menerima investor pariwisata terkait jenis ataupun
lokasi pengembangan fasilitas pariwisata.
”Kami selama ini tidak main-main mengembangkan pariwisata
di daerah kami. Dasarnya tetap pariwisata budaya dan agama. Jika itu hilang,
apa yang akan kami jual,” kata Bupati Karangasem Wayan Geredeg ketika dihubungi
dari Denpasar.
Ia mengungkapkan, Karangasem menetapkan tiga
wilayahnya untuk pengembangan wisata sesuai dengan topografi masing-masing.
Ketiga wilayah itu adalah Padang Bai dan Candi Dasa untuk pengembangan wisata
pantai, Taman Ujung untuk kawasan wisata spiritual, dan Tulamben untuk
pariwisata bawah laut. Karangasem tengah membangun pelabuhan kapal wisata
pertama, dan terbesar di Bali , di sekitar
kawasan Padang Bai. Pelabuhan itu tak akan memakan kawasan hijau.
Secara terpisah, Bupati Buleleng Putu Bagiada
menyatakan komitmennya untuk mengembangkan wisata selaras dengan pelestarian
hutan, di samping pengembangan wisata pantai di Pantai Lovina. Pembangunan
delapan hotel dan resor di kawasan Taman Nasional Bali Barat, misalnya, juga
diwajibkan selaras dengan upaya pelestarian kawasan itu.
Budayawan Ketut Sumarta melukiskan Bali membutuhkan komitmen bersama guna mendorong
pengembangan pariwisata yang akrab dan menyatu dengan tradisi adat-istiadatnya.
”Pariwisata jangan menjadi kambing hitam atas
gangguan yang menimpa tradisi adat. Khusus di Bali, pariwisata justru
menghidupkan tradisi setempat, seperti pementasan barong, kecak, tek-tekan, dan
gamelan. Tradisi juga harus mampu mengikuti tuntutan perkembangan. Tradisi
berkarakter agraris harus diolah menjadi tradisi berkarakter jasa, sesuai
tuntutan dunia pariwisata,” kata Pemimpin Redaksi Sarad, majalah budaya Bali , itu.
Oleh sebab itu, obyek wisata berupa taman safari,
golf, atau balap mobil di Bali , misalnya,
adalah obyek yang melenceng dari arah wisata budaya.
General Manager Hotel Inna Bali Maryanto mengaku
resah terhadap kehadiran hotel berbintang di Bali
yang bertambah banyak dan terkesan tak terkendali. Karena itu, pembangunan
hotel-hotel berbintang agar distop.
Sekretaris Jenderal Persatuan Hotel dan Restoran
Indonesia Bali Perry Markus menilai perlu pengkajian secara menyeluruh sebelum
mengatakan bahwa industri wisata Bali jenuh.
Jadi, perlu rencana induk untuk beberapa waktu ke depan. Setelah dilalui,
direvisi kembali sesuai dengan tuntutan zaman.
0 komentar:
Posting Komentar