Pengelolaan Sumber Daya Alam di era
Otda banyak menimbulkan dampak negatif keinginan Pemda untuk menghimpun
pendapatan asli daerah (PAD), telah menguras sumber daya alam potensial yang
ada, tanpa mempertimbangkan dampak negatif/kerusakan lingkungan dan prinsip
pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Era Otda tidak disikapi
baik oleh aparat Pemda, DPRD maupun warga masyarakat dengan kematangan
berfikir, bersikap dan bertindak. Masing-masing elemen masyarakat lebih
menonjolkan hak dari pada kewajiban dalam mengatur dan mengurus sesuatu yang
menjadi kepentingan umum. Dengan kata lain, masing-masing lebih mengedepankan
egonya untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Pemahaman terhadap Otda yang
keliru, baik oleh aparat maupun oleh warga masyarakat menyebabkan pelaksanaan
Otda menyimpang dari tujuan mewujudkan masyarakat yang aman, damai dan
sejahtera. Keterbatasan sumberdaya dihadapkan dengan tuntutan kebutuhan dana
(pembangunan dan rutin operasional pemerintahan) yang besar, memaksa Pemda
menempuh pilihan yang membebani rakyat, misalnya memperluas dan atau
meningkatkan objek pajak dan retribusi, menguras sumberdaya alam yang tersedia,
dll. Kesempatan seluas-luasnya yang diberikan kepada masyarakat untuk
berpartisipasi dan mengambil peran, juga sering disalah artikan, seolah-olah
merasa diberi kesempatan untuk mengekspolitasi sumber daya alam dengan cara
masing-masing semaunya sendiri.
Di pihak lain, Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD), yang seharusnya berperan mengontrol dan meluruskan segala
kekeliruan implementasi Otda tidak menggunakan peran dan fungsi yang
semestinya, bahkan seringkali mereka ikut terhanyut dan berlomba mengambil
untung dari perilaku aparat dan masyarakat yang salah . Semua itu terjadi
karena Otda lebih banyak menampilakn nuansa kepentingan pembangunan fisik dan
ekonomi. Akibatnya terjadi percepatan kerusakan hutan dan lingkungan yang
berdampak pada percepatan sumber daya air hampir di seluruh wilayah tanah air,
bahkan untuk Pulau Jawa dan Bali sejak tahun 1995 telah mengalami defisit air
karena kebutuhan air jauh di atas ketersediaan air (Sumber: Direktorat Geologi
dan Tata Lingkungan, 2001).Eksploitasi hutan dan lahan yang tak terkendali juga
telah menyebabkan hancurnya habitat dan ekosistem satwa liar yang berdampak
terhadap punahnya sebagian varietas vegetasi dan satwa langka serta mikro
organisme yang sangat bermanfaat untuk menjaga kelestarian alam.
Sementara pembangunan sumber daya
manusia / SDM (moral, spiritual intelektual dan keterampilan) yang seharusnya
diprioritaskan, (karena SDM berkualitas ini merupakan prasyarat), sangat kurang
mendapat perhatian sebagaimana dikemukakan oleh Riwu Kaho (1988:60), bahwa
penerapan otonomi daerah yang efektif memiliki beberapa syarat, sekaligus
sebagai faktor yang sangat berpengaruh, yaitu:
a. Manusia selaku pelaksana harus berkualitas
b. Keuangan sebagai biaya harus cukup dan baik
c. Prasarana, sarana dan peralatan harus cukup dan
baik
d. Organisasi dan manajemen harus baik
Dari semua faktor tersebut di atas,
“faktor manusia yang baik” adalah faktor yang paling penting karena berfungsi sebagai
subjek dimana faktor yang lain bergantung pada faktor manusia ini. SDM yang
tidak/belum berkualitas inilah yang menyebabkan penyelenggaraan Otonomi daerah
tidak berjalan sebagaimana mestinya, penuh dengan intrik, konflik dan
carut-marut serta diwarnai oleh menonjolnya kepentingan pribadi dan kelompok.
Departemen Pertahanan (Dephan), selaku lembaga yang bertugas mengelola potensi
pertahanan menjadi kekuatan pertahanan berkepentingan dengan adanya dampak
negatif dari pendayagunaan sumber daya alam untuk kepentingan pertahanan negara
di seluruh daerah otonom. Perlu disadari, bahwa kekuatan pertahanan negara kita
ini tidak terpusat, melainkan tersebar di seluruh daerah, karena sesuai Doktrin
Pertahanan Rakyat Semesta (Hanrata) kekuatan pertahanan bertumpu pada
simpul-simpul kekuatan yang telah diorganisir dan tersebar di daerah. Dephan
patut merasa terpanggil perhatiannya melihat semakin menurunnya kondisi
lingkungan sumber daya alam di daerah, mengingat masalah-masalah yang
menyangkut bidang pertahanan tidak diotonomikan kepada daerah. Dalam hal ini
Dephan memiliki sejumlah peran dan kewenangan atas pembinaan dan pendayagunaan
sumber daya alam di daerah. Untuk menyikapi perubahan-perubahan yang terjadi,
baik di bidang kebijakan maupun pengelolaan SDA oleh Pemda dan masyarakat di
daerah di era Otonomi Daerah ini. Dephan telah melakukan pengkajian Efektivitas
Aparatur Dephan dalam Era Otonomi Daerah. Maksud dari pengkajian ini adalah
mencari “formula” yang tepat dalam aspek kelembagaan, SDM, tatalaksana, pelayanan
publik Dephan dalam rangka menyesuaikan dengan perubahan-perubahan yang
mendasar, baik di bidang birokrasi maupun kemasyarakatan di daerah setelah
memasuki era Otonomi Daerah . Hal-hal yang perlu mendapat perhatian adalah
bagaimana menjembatani tuntutan masyarakat yang berbeda-beda di setiap daerah
(sesuai dengan karakter daerah masing-masing) dengan tantangan dan ancaman
sejalan dengan dinamika perkembangan lingkungan strategis yang sulit diprediksi
serta tuntutan kebutuhan strategi menghadapi ancaman. Masalah tersebut
memerlukan penelitian dan pengkajian lebih lanjut dan mendalam.
Khusus mengenai sumber daya
nasional / SDN (dalam tulisan ini dibatasi: SDN = sumber daya alam/SDA). Untuk
kepentingan hanneg, Dephan, memiliki kewenangan menetapkan kebijakan umum,
menetapkan kriteria atau persyaratan dan alokasi kebutuhan sumber daya, serta
mengkoordinasikannya dengan semua pihak terkait (departemen, intansi, dan
Pemda), mengawasi dan mengendalikan pelaksanaan pendayagunaannya. Dengan
sejumlah kewenangan tersebut di atas, Dephan memiliki tugas dan fungsi yang
tidak mudah, apalagi Dephan tidak memiliki kantor wilayah (Kanwil) sebagai
ujung tombak di daerah. Peran Kodam yang selama ini sebagai pengemban tugas dan
fungsi (PTF) Dephan, menjadi kurang efektif karena dipandang sudah tidak sesuai
dengan tuntutan era reformasi, dimana TNI memfokuskan diri pada tugas pokok
pertahanan sebagaimana tertuang dalam konsep reformasi internal TNI dan
meninggalkan tugas-tugas pemerintahan.
Disamping itu tugas pokok Kodam selaku
Kotama pembinaan kekuatan kewilayahan di daerah cukup menyita waktu, sehingga
tidak memungkinkan dapat mengemban dua tugas pokok dan fungsi (Dephan dan TNl)
sekaligus dengan tuntas. Kondisi inilah yang menginspirasi pemkiran/gagasan
tentang perlunya pembentukan Kanwil Dephan di Daerah. Dalam hal pengelolaan
sumber daya alam seperti air, tanah, hutan, tambang mineral dll, baik aparat
maupun warga masyarakat masing-masing berusaha mengeksploitasi secara
serampangan, tanpa mengindahkan dampak negatif yang merugikan generasi masa
depan dan kelestarian lingkungan, bahkan kepentingan penduduk daerah tetangga
sekalipun. Sebagai contoh; daerah yang sebelumnya sudah dihijaukan (reboisasi)
melalui program penghijauan sekarang di era otonomi banyak dijarah penduduk
setempat dan lahannya digunakan sebagai areal pertanian. Tidak peduli lahan
tersebut berada di daerah lereng gunung yang tidak layak sebagai lahan cocok
tanam. Tidak peduli kalau aktivitas penjarahan lahan seperti itu menyebabkan
erosi dan banjir yang menimbulkan bencana yang merugikan daerah tetangga.
Otonomi daerah telah menimbulkan persaingan yang tidak sehat antar daerah
bertetangga dan perebutan SDA bernilai tinggi yang ada di perbatasan wilayah
daerah otonom, terutama hal ini terjadi pada daerah perbatasan yang tidak jelas
garis batasnya. Pada kenyataanya kecuali yang menggunakan batas aliran sungai
sebagian besar batas antar daerah tidak jelas karena belum diukur dan
dikukuhkan dalam peraturan perundang-undangan.Kerusakan SDA dan lingkungan
paling parah juga terjadi di daerah miskin sumber daya SDA dimana lahan dan
sumber daya yang ada di atasnya merupakan pilihan utama mata pencaharian
penduduk. Sementara itu, kebodohan penduduk menyebabkan mereka umumnya
menggantungkan sumber mata pencahariannya pada sektor pertanian dan hasil
hutan. Kondisi seperti ini dialami oleh sebagian besar daerah kabupaten di Jawa
dan Madura, sehingga dari hari ke hari luas hutan di Jawa dan Madura semakin
menyempit.
Diperkirakan luasnya kurang dari 15
% dari seluruh luas tanah. Padahal sebenarnya luas hutan dan areal di Jawa
paling sedikit 30 % dari seluruh luas tanah. Sebagian besar penduduk yang
berpengetahuan rendah, menyikapi pemberlakuan otonomi daerah yang bersamaan
dengan krisis ekonomi dalam hal eksplolitasi SDA dengan cara-cara yang
tidak/kurang bertanggungjawab, pertama; tidak taat hukum/peraturan, beberapa
contoh dalam hal ini; penjarahan hutan (termasuk hutan reboisasi), penjarahan
areal pertambangan yang sudah dikonsesikan kepada perusahaan (BUMN, BUMD & Swasta)
dan mengolah tanah dengan serampangan (tidak sesuai dengan kaidah/metoda
pertanian). Dampak negatif dari penjarahan hutan dan cara bertani yang salah
dan ilegal telah menyebabkan kerugian ganda, yakni kehilangan lapisan tanah
subur karena erosi, banjir setiap hujan besar, sumber air semakin menyusut dan
kepunahan dari sebagian flora serta fauna langka. Kedua; rendahnya tingkat
kepedulian dan rasa tanggung jawab, baik kepedulian/tanggung jawab sosial
maupun lingkungan alam; bahkan terhadap masa depan diri dan anak cucunya.
Ketiga; malas bekerja, gejala ini tampak dari banyaknya tenaga muda potensial
yang putus sekolah atau tamat sekolah malas bekerja, mereka banyak yang
meninggalkan kampung/desa tempat tinggalnya berbondong-bondong pergi ke kota.
Di kota mereka lebih banyak menjadi “beban” karena sebagian hanya bekerja
secara sambilan di sektor informal (seperti pedagang kaki lima, pengamen, buruh
bangunan, pengemis, dll). Gejala perpindahan penduduk dari desa ke kota
(urbanisasi), baik yang permanen maupun yang musiman, merupakan penyebab utama
terjadinya kesemrawutan wajah kota, kriminalitas dan kepadatan penduduk kota
yang sulit diperhitungkan serta dikendalikan. Sementara itu, aktivitas
pertanian dan nelayan di desa-desa telah mengalami stagnasi,bahkan penurunan
yang signifikan karena kekurangan tenaga kerja muda. Dua gejala yang
kontradiktif (pertumbuhan kota yang sangat cepat, tak teratur di satu pihak dan
pedesaan yang stagnan serta banyaknya kerusakan lingkungan di pihak lain),
tampaknya di era otonomi daerah ini tidak dipandang sebagai suatu masalah yang
patut mendapat perhatian dan upaya solusi yang sungguh-sungguh. Bilamana hal
ini dibiarkan berlarut-larut akan menimbulkan masalah besar dan kompleks
sehingga makin sulit diatasi.
Di samping itu perusakan atau
pelanggaran terhadap lingkungan yang dibiarkan berkepanjangan dapat menyebabkan
para pelakunya menjadi bebal (tidak merasa apa yang diperbuatnya sebagai suatu
kejahatan). Padahal penjahat lingkungan itu merupakan “teroris laten” karena
akibat perbuatannya dapat menyengsarakan banyak orang di masa yang akan datang
yang tidak dapat diperkirakan berapa lama.
0 komentar:
Posting Komentar