Pengertian Sistem Ekonomi Neoliberalisme
Sistem Ekonomi Neoliberalisme menghilangkan peran negara sama sekali
kecuali sebagai “regulator” atau pemberi “stimulus” (baca: uang negara) untuk
menolong perusahaan swasta yang bangkrut. Sebagai contoh, pemerintah AS harus mengeluarkan
“stimulus” sebesar US$ 800 milyar (Rp 9.600 trilyun) sementara Indonesia
pada
krisis monter 1998 mengeluarkan dana KLBI sebesar Rp 144 trilyun dan BLBI
senilai Rp 600 trilyun. Melebihi APBN saat itu. Sistem ini berlawanan 100%
dengan Sistem Komunis di mana negara justru menguasai nyaris 100% usaha yang
ada.
Bertentangan dgn UUD
1945
Ekonomi Kerakyatan seperti tercantum di UUD 45 pasal 33 yang menyatakan
bahwa kebutuhan rakyat seperti Sembako, Energi, dan Air harus dikuasai negara.
Begitu pula kekayaan alam dikuasai negara untuk sebesar-besarnya bagi
kemakmuran rakyat. Untuk itu dibuat berbagai BUMN seperti Pertamina, PAM, PLN,
dan sebagainya sehingga rakyat bisa menikmatinya dengan harga yang terjangkau.
Lembaga Utama Yg Menjalankan Neolibrealisme
Neoliberalisme disebut juga dengan Globalisasi (Globalization).
Neoliberalis adalah orang yang menganut paham Neoliberalisme.
Lembaga Utama yang menjalankan Neoliberalisme adalah IMF, World Bank,
dan WTO. Di bawahnya ada lembaga lain seperti ADB. Dengan belenggu hutang
(misalnya hutang Indonesia yang meningkat dari Rp 1.200 trilyun 20 tahun 2004
dan bengkak jadi Rp 1.600 trilyun di 2009) lembaga tersebut memaksakan program
Neoliberalisme ke seluruh dunia. Pemerintah AS (USAID) bertindak sebagai
Project Manager yang kerap campur tangan terhadap pembuatan UU di berbagai
negara untuk memungkinkan neoliberalisme berjalan (misalnya di negeri kita UU
Migas).
Privatisasi/Penjualan BUMN (Badan Usaha Milik
Negara).
Neoliberalis menghendaki negara tidak berbisnis meski bisnis tersebut
menyangkut kekayaan alam negara dan juga menyangkut kebutuhan hidup orang
banyak. Oleh karena itu semua BUMN harus dijual atau diprivatisasi ke pihak
swasta. Karena swasta Nasional keuangannya terbatas, umumnya yang membelinya
adalah pihak asing seperti Indosat dan Telkom yang dijual ke perusahaan asing
seperti STT dan Singtel yang ternyata anak perusahaan dari Temasek (BUMN
Singapura).
PAM (Perusahaan Air Minum) yang dibeli pihak asing sehingga jadi Palyja
(Lyonnaise, Perancis) dan TPJ (Thames PAM Jaya yang kemudian dibeli oleh
AETRA). Privatisasi ini akhirnya menyebabkan tarif PAM naik berkali-kali hingga
sekarang 1 m3 jadi sekitar Rp 7.000.
Privatisasi/Penjualan BUMN (Badan Usaha Milik
Negara).
Yang berbahaya adalah ketika perusahaan swasta/asing itu bergerak di
bidang pertambangan seperti minyak, gas, emas, perak, tembaga, dan sebagainya,
sehingga kekayaan alam Indonesia bukannya dinikmati oleh rakyat Indonesia
justru masuk ke kantong asing. Inilah yang menyebabkan kemiskinan di Indonesia.
Menurut PENA, Rp 2.000 trilyun setiap tahun dari hasil kekayaan alam Indonesia
masuk ke tangan asing. Padahal APBN kita saat itu hanya sekitar Rp 1.000
trilyun sementara hutang luar negeri Rp 1.600 trilyun.
Sebagai contoh, Freeport yang menguasai lahan tambang di Papua di mana
satu gunung Grassberg saja punya deposit emas sebanyak US$ 50 milyar (Rp 500
trilyun), ternyata hanya memberi royalti ke Indonesia 1% saja! Jadi kalau
Freeport dapat Rp 495 trilyun, Indonesia cuma dapat Rp 5 trilyun. Bagaimana
Indonesia bisa kaya?
0 komentar:
Posting Komentar