Categories

Lesson 6

Blog Archive

Follower

Statistik

Get Gifs at CodemySpace.com

RADIOFARMASI APLIKASI NUKLIR UNTUK MEDIS



Radiofarmasi adalah adalah penggunaan senyawa radioaktif dalam pengobatan penyakit. Salah satu aplikasi radiofarmasi adalah sebagai radioimunoterapi. Radioimunoterapi adalah metode penanganan kanker dengan memanfaatkan reaksi spesifik antigen dan antibodi. Radioisotop dengan jenis radiasi yang mematikan sel “ditumpangkan” ke antibodi yang bereaksi secara spesifik dengan tumor-associated antigen. Setelah dimasukkan ke dalam tubuh, antibodi akan terikat ke dalam antigen yang ada di sel kanker dan sel tersebut akan dimatikan oleh radiasi yang dipancarkan radioisotop.
Sampai saat ini, radioimunoterapi telah digunakan untuk pengobatan beberapa jenis kanker, antara lain pengobatan limfoma, kanker prostat, dan melanoma. Ada beberapa jenis radioantibodi yang telah disetujui oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA, Food and Drug Administration), diantaranya adalah Zevalin dan Bexxar. Zevalin adalah antibodi monoklonal anti-CD20 yang ke dalamnya telah diikatkan radioisotop pemancar beta Yttrium-90. Sedangkan Bexxar adalah antibodi monoklonal anti-CD20 yang ke dalamnya telah dimuati dengan radioisotop Iodium-131. Kedua radioantibodi ini digunakan untuk penanganan kanker limfoma.

Penggunaan radioimunoterapi pada pengobatan limfoma atau leukima adalah dengan menginjeksikan antiCD20 yang dilabel dengan radioaktif. Mula-mula pasien dipersiapkan sedemikian rupa, yaitu dengan diberi infus antibodi yang tidak dilabel radioaktif. Kemudian pasien akan menerima antibodi yang dilabel radioaktif dalam dosis yang rendah. Antibodi yang berlabel radioaktif ini akan beredar di dalam tubuh dan akan menghampiri sel limfoma B dan limfosit B normal. Antibodi membawa radioaktif pada sel limfoma dan terjadi pembunuhan sel kanker yang terlokalisasi serta sedikit limfosit B normal.
Penggunaan radioimunoterapi pada pengobatan kanker prostat adalah dengan melabel antibodi monoklonal dari kanker prostat. Antibodi monoklonal pada kanker prostat disebut anti-PSMA (Prostat-Specific Membran Antigen) mAb. J591 adalah anti-PSMA mAb yang belum dilabel dengan radioaktif.  Radioaktif yang digunakan untuk melabel J591 adalah 177Lu dan 90Y. Dalam jurnal penelitian, pasien kanker prostat dibagi dalam beberapa kelompok lalu diberi 177Lu-J591 dan 90Y-J591 berbagai dosis selama 2-4 bulan. Hasilnya, pemberian berulang 177Lu-J591 (30-60 mCi/m2) atau 90Y-J591 (17.5 mCi/m2) dapat ditoleransi pasien dengan trombocitopenia. Meskipun pemberian tunggal dosis besar dipertimbangkan dapat membunuh sel kanker dalam fraksi besar.
Radioimunoterapi yang digunakan dalam pengobatan melanoma menggunakan antibodi monoklonal 6D2. Pada melanoma yang menjadi target radioimunoterapi adalah melanin. Penelitian yang dilakukan pada mencit, menggunakan 6D2 mAb yang dilabel 188Re. untuk mengetahui efikasinya 188Re-6D2 mAb dibandingkan dengan kemoterapi yang menggunakan dacarbazine. Hasil penelitian tersebut menunjukkan 188Re-6D2 mAb lebih efektif dalam menghambat pertumbuhan tumor pada mencit. Selain itu, pengobatan melanoma dengan dacarbazine yang diikuti radioimunoterapi lebih efektif daripada terapi tunggal.
Di beberapa negara, pemanfaatan nuklir di bidang kesehatan terus berkembang pesat. Skala ekonominya telah mencapai angka yang menjanjikan. Di Amerika Serikat dilaporkan telah mencapai 49 milyar dollar AS per tahun pada tahun 1998, atau sekitar 5% dari total belanja kesehatan nasional negara tersebut yang sebesar 987 milyar dollar AS.  Sedang di Jepang, pemanfaatan radiasi nuklir memiliki skala ekonomi 12 milyar dollar AS per tahun, atau setara dengan 4,3% dari total belanja kesehatan yang sebesar 279 milyar dollar AS. Potensi ekonomi yang tersimpan di dalam layanan kesehatan berbasis teknologi nuklir ini diprediksi akan mendoorong berbagai pihak untuk mengembangkannya di tanah air.
Dunia medis erat kaitannya dengan diagnosis dan pengobatan (terapi) suatu penyakit. Untuk mengetahui jenis dan adanya penyakit, dilakukan dengan cara mendiagnosis penyakit yang diderita seseorang. Bila sudah diketahui penyakitnya, pengobatan pun bisa dilakukan dengan tepat dan lebih cepat.
Berbagai cara dan teknologi diterapkan untuk melakukan keduanya. Ada yang menggunakan obat-obatan herbal, kimia, hingga ke sinar dari radioaktif. Untuk masalah pada tulang, selama ini teknologi yang umum digunakan adalah Sinar X untuk rontgen. Namun, kini ada teknologi diagnosis dan terapi untuk tulang dengan menggunakan sinar gama dan materi bermuatan (alfa dan beta). Penggunaannya melalui aliran darah, baik dengan oral, injeksi, maupun diisap.
Penggunaan radioaktif melalui aliran darah disebut radiofarmasi. Dalam terapi ini, obat dimasukkan ke dalam atau sirkulasi darah. "Obat itu menggunakan molekul atom radioaktif. Atom yang membentuknya adalah radioaktif," ujar Kepala Pusat Radioisotop dan Radiofarmaka Badan Tenaga Atom Nasional (Batan), Abdul Mutalib, beberapa waktu lalu di Jakarta.Molekul atom radioaktif yang digunakan untuk terapi tulang memancarkan sinar gama. Sinar ini berdaya tembus tinggi, bahkan bisa tembus ke luar jaringan. Untuk mendeteksi letak sinar gama yang berkumpul di dalamtulang, digunakan kamera gama.

Tahap diagnosis
Radioaktif gama dalam teknologi radiofarmasi adalah untuk diagnosis. Ada dua sinar gama yang digunakan untuk diagnosis. Yakni, single photon emisien computerized tomography (gmisi dari photon tunggal yang dapat ditelusuri komputer). Yang terbaru disebut PET-positron emission tomography (radioaktif yang memancarkan positron).
Teknologi ini digunakan agar sinar gama yang masuk ke dalam aliran darah bisa menembus sasaran. Setelah mencapai sasaran, dalam kurun waktu tertentu bisa ditelusuri dengan kamera gama atau komputer. Menurut Mutalib, waktu yang dibutuhkan sekitar beberapa jam lamanya. Setelah menembus sasaran, elektronnya hilang. Dalam diagnosis, digunakan penelusuran dengan pencitraan. Sinar gama ini bisa masuk ke tingkat sel dan pencitraannya mampu menggambarkan hingga tingkat molekul (molecular imaging).
"Pencitraannya sudah detail. Kalau CT-Scan atau Magnetik Resonance Imaging (MEI) itu hanya anatomi, juga Ultrasonography (USG) hanya pada fi-siologi. Tapi, tak bisa melihat sampai tingkat molekul. Kalau ini, sampai tingkat sel. Jadi, diagnosisnya jauh lebih akurat," ujar Mutalib.Terapi dengan radioaktif, kata Mutalib, berbeda dengan obat (farmasi) biasa. Produk industri farmasi, peng-obatannya hanya untuk terapi, bukan untuk diagnosis.Untuk terapi, radioaktif ini diminum, diinjeksi, juga diisap. "Apa pun caranya,yang penting aman bagipenderita, dan bisa masuk ke saluran darah. Semua akan masuk ke aliran darah," ujarnya.
Terapi radioaktif ini, sambungnya, didesain untuk mengikuti aliran darah hingga ke target yang dituju sesuai fungsinya, misalkan ke otak, tulang, dan lain-lain. Untuk itu, tiap-tiap terapi organ tertentu, jenisnya juga berbeda. Karena itu, jenisnya pun beragam.Bila sudah mencapai sasaran, radioaktif itu akan memancarkan radiasi yang bisa ditangkap oleh kamera gama. Maka itu, di kamera itu akan tampak bentuk jantung, otak, ataupuntulangnya dengan warna terang berpen-dar. "Dari situ, kita bisa melihat kelainan sel atau organ," ujarnya.
Langkah ini, kata Mutalib, sangat berbeda dengan kemoterapi. Kemoterapi digunakan untuk membunuh sel kanker atau penyakit dengan bahan kimia. Senyawa kimia ditembakkan ke sel sasaran, tetapi seringkali sel-sel sehat di sekitarnya juga mati. "Radiofarmasi terapinya di tingkat seluler yang abnormal dan lebih spesifik kinerjanya. Sasaran yang dikenai pun sangat terbatas pada yang dituju saja," ujarnya.



Efek nonfarmakologis
Penggunaan radiofarmasi untuk terapi mungkin membuat orang awam khawatir pada efek sampingnya. Namun, Mutalib menjelaskan, jumlah radioaktif gama yang dimasukkan ke aliran darah itu sangat kecil dan radi-asinya akan hilang seiring selesainya ia bertugas. Masa paruh radioaktif untuk terapi itu sekitar dua hari. Sedangkan untuk diagnosis, waktu paruhnya sekitar dua hingga enam jam.
Sistem ini sudah dirancang sedemikian rupa sehingga tak memberikan efek farmakologis di tubuh. Ini berbeda dengan obat yang memberikan efek samping. "Toksisitasnya ada pada tingkat aman untuk terapi radiofarmasi, dan sudah kita uji toksisitas. Tingkatnya adalah di bawah LD (lethal dosis) 50," ujar Mutalib.
Selain tak ada efek farmakologis, radiofarmaka juga memiliki efek fisiolo-gis. Jika dengan kemoterapi, pasien akan mengalami beberapa efek fisiolo-gis, seperti mual, rambut rontok, kulit menghitam, dan lain-lain. Sedangkan radiofarmaka, menurut dia, tak memberikan efek seperti kemoterapi dan pengaruhnya sangat minimal.Bila menjalani radiofarmasi, pasien tak perlu dibius karena radiasinya yang kecil. Alat deteksinya purvsangat sensitif sehingga radioaktif yang digunakan pun cukup hanya dalam jumlah sedikit.

0 komentar:

Posting Komentar