Radiofarmasi adalah adalah penggunaan senyawa radioaktif
dalam pengobatan penyakit. Salah satu aplikasi radiofarmasi adalah sebagai
radioimunoterapi. Radioimunoterapi adalah metode penanganan kanker dengan
memanfaatkan reaksi spesifik antigen dan antibodi. Radioisotop dengan jenis
radiasi yang mematikan sel “ditumpangkan” ke antibodi yang bereaksi secara
spesifik dengan tumor-associated antigen. Setelah dimasukkan ke dalam tubuh,
antibodi akan terikat ke dalam antigen yang ada di sel kanker dan sel tersebut
akan dimatikan oleh radiasi yang dipancarkan radioisotop.
Sampai saat ini, radioimunoterapi telah digunakan untuk pengobatan
beberapa jenis kanker, antara lain pengobatan limfoma, kanker prostat, dan
melanoma. Ada
beberapa jenis radioantibodi yang telah disetujui oleh Badan Pengawas Obat dan
Makanan Amerika Serikat (FDA, Food and Drug Administration), diantaranya adalah
Zevalin dan Bexxar. Zevalin adalah antibodi monoklonal anti-CD20 yang ke
dalamnya telah diikatkan radioisotop pemancar beta Yttrium-90. Sedangkan Bexxar
adalah antibodi monoklonal anti-CD20 yang ke dalamnya telah dimuati dengan
radioisotop Iodium-131. Kedua radioantibodi ini digunakan untuk penanganan
kanker limfoma.
Penggunaan radioimunoterapi pada pengobatan limfoma atau
leukima adalah dengan menginjeksikan antiCD20 yang dilabel dengan radioaktif.
Mula-mula pasien dipersiapkan sedemikian rupa, yaitu dengan diberi infus
antibodi yang tidak dilabel radioaktif. Kemudian pasien akan menerima antibodi
yang dilabel radioaktif dalam dosis yang rendah. Antibodi yang berlabel
radioaktif ini akan beredar di dalam tubuh dan akan menghampiri sel limfoma B
dan limfosit B normal. Antibodi membawa radioaktif pada sel limfoma dan terjadi
pembunuhan sel kanker yang terlokalisasi serta sedikit limfosit B normal.
Penggunaan radioimunoterapi pada pengobatan kanker prostat
adalah dengan melabel antibodi monoklonal dari kanker prostat. Antibodi
monoklonal pada kanker prostat disebut anti-PSMA (Prostat-Specific Membran
Antigen) mAb. J591 adalah anti-PSMA mAb yang belum dilabel dengan
radioaktif. Radioaktif yang digunakan
untuk melabel J591 adalah 177Lu dan 90Y. Dalam jurnal penelitian, pasien kanker
prostat dibagi dalam beberapa kelompok lalu diberi 177Lu-J591 dan 90Y-J591
berbagai dosis selama 2-4 bulan. Hasilnya, pemberian berulang 177Lu-J591 (30-60
mCi/m2) atau 90Y-J591 (17.5 mCi/m2) dapat ditoleransi pasien dengan trombocitopenia.
Meskipun pemberian tunggal dosis besar dipertimbangkan dapat membunuh sel
kanker dalam fraksi besar.
Radioimunoterapi yang digunakan dalam pengobatan melanoma
menggunakan antibodi monoklonal 6D2. Pada melanoma yang menjadi target
radioimunoterapi adalah melanin. Penelitian yang dilakukan pada mencit,
menggunakan 6D2 mAb yang dilabel 188Re. untuk mengetahui efikasinya 188Re-6D2
mAb dibandingkan dengan kemoterapi yang menggunakan dacarbazine. Hasil
penelitian tersebut menunjukkan 188Re-6D2 mAb lebih efektif dalam menghambat
pertumbuhan tumor pada mencit. Selain itu, pengobatan melanoma dengan
dacarbazine yang diikuti radioimunoterapi lebih efektif daripada terapi
tunggal.
Di beberapa negara, pemanfaatan nuklir di bidang kesehatan
terus berkembang pesat. Skala ekonominya telah mencapai angka yang menjanjikan.
Di Amerika Serikat dilaporkan telah mencapai 49 milyar dollar AS per tahun pada
tahun 1998, atau sekitar 5% dari total belanja kesehatan nasional negara
tersebut yang sebesar 987 milyar dollar AS.
Sedang di Jepang, pemanfaatan radiasi nuklir memiliki skala ekonomi 12
milyar dollar AS per tahun, atau setara dengan 4,3% dari total belanja
kesehatan yang sebesar 279 milyar dollar AS. Potensi ekonomi yang tersimpan di
dalam layanan kesehatan berbasis teknologi nuklir ini diprediksi akan
mendoorong berbagai pihak untuk mengembangkannya di tanah air.
Dunia medis erat kaitannya dengan diagnosis dan pengobatan
(terapi) suatu penyakit. Untuk mengetahui jenis dan adanya penyakit, dilakukan
dengan cara mendiagnosis penyakit yang diderita seseorang. Bila sudah diketahui
penyakitnya, pengobatan pun bisa dilakukan dengan tepat dan lebih cepat.
Berbagai cara dan teknologi diterapkan untuk melakukan
keduanya. Ada
yang menggunakan obat-obatan herbal, kimia, hingga ke sinar dari radioaktif.
Untuk masalah pada tulang, selama ini teknologi yang umum digunakan adalah
Sinar X untuk rontgen. Namun, kini ada teknologi diagnosis dan terapi untuk
tulang dengan menggunakan sinar gama dan materi bermuatan (alfa dan beta).
Penggunaannya melalui aliran darah, baik dengan oral, injeksi, maupun diisap.
Penggunaan radioaktif melalui aliran darah disebut
radiofarmasi. Dalam terapi ini, obat dimasukkan ke dalam atau sirkulasi darah.
"Obat itu menggunakan molekul atom radioaktif. Atom yang membentuknya
adalah radioaktif," ujar Kepala Pusat Radioisotop dan Radiofarmaka Badan
Tenaga Atom Nasional (Batan), Abdul Mutalib, beberapa waktu lalu di
Jakarta.Molekul atom radioaktif yang digunakan untuk terapi tulang memancarkan
sinar gama. Sinar ini berdaya tembus tinggi, bahkan bisa tembus ke luar
jaringan. Untuk mendeteksi letak sinar gama yang berkumpul di dalamtulang,
digunakan kamera gama.
Tahap diagnosis
Radioaktif gama dalam teknologi radiofarmasi adalah untuk
diagnosis. Ada
dua sinar gama yang digunakan untuk diagnosis. Yakni, single photon emisien
computerized tomography (gmisi dari photon tunggal yang dapat ditelusuri
komputer). Yang terbaru disebut PET-positron emission tomography (radioaktif
yang memancarkan positron).
Teknologi ini digunakan agar sinar gama yang masuk ke dalam
aliran darah bisa menembus sasaran. Setelah mencapai sasaran, dalam kurun waktu
tertentu bisa ditelusuri dengan kamera gama atau komputer. Menurut Mutalib,
waktu yang dibutuhkan sekitar beberapa jam lamanya. Setelah menembus sasaran,
elektronnya hilang. Dalam diagnosis, digunakan penelusuran dengan pencitraan.
Sinar gama ini bisa masuk ke tingkat sel dan pencitraannya mampu menggambarkan
hingga tingkat molekul (molecular imaging).
"Pencitraannya sudah detail. Kalau CT-Scan atau Magnetik
Resonance Imaging (MEI) itu hanya anatomi, juga Ultrasonography (USG) hanya
pada fi-siologi. Tapi, tak bisa melihat sampai tingkat molekul. Kalau ini,
sampai tingkat sel. Jadi, diagnosisnya jauh lebih akurat," ujar
Mutalib.Terapi dengan radioaktif, kata Mutalib, berbeda dengan obat (farmasi)
biasa. Produk industri farmasi, peng-obatannya hanya untuk terapi, bukan untuk
diagnosis.Untuk terapi, radioaktif ini diminum, diinjeksi, juga diisap.
"Apa pun caranya,yang penting aman bagipenderita, dan bisa masuk ke
saluran darah. Semua akan masuk ke aliran darah," ujarnya.
Terapi radioaktif ini, sambungnya, didesain untuk mengikuti
aliran darah hingga ke target yang dituju sesuai fungsinya, misalkan ke otak,
tulang, dan lain-lain. Untuk itu, tiap-tiap terapi organ tertentu, jenisnya
juga berbeda. Karena itu, jenisnya pun beragam.Bila sudah mencapai sasaran,
radioaktif itu akan memancarkan radiasi yang bisa ditangkap oleh kamera gama.
Maka itu, di kamera itu akan tampak bentuk jantung, otak, ataupuntulangnya
dengan warna terang berpen-dar. "Dari situ, kita bisa melihat kelainan sel
atau organ," ujarnya.
Langkah ini, kata Mutalib, sangat berbeda dengan kemoterapi.
Kemoterapi digunakan untuk membunuh sel kanker atau penyakit dengan bahan
kimia. Senyawa kimia ditembakkan ke sel sasaran, tetapi seringkali sel-sel
sehat di sekitarnya juga mati. "Radiofarmasi terapinya di tingkat seluler
yang abnormal dan lebih spesifik kinerjanya. Sasaran yang dikenai pun sangat
terbatas pada yang dituju saja," ujarnya.
Efek
nonfarmakologis
Penggunaan radiofarmasi untuk terapi mungkin membuat orang
awam khawatir pada efek sampingnya. Namun, Mutalib menjelaskan, jumlah
radioaktif gama yang dimasukkan ke aliran darah itu sangat kecil dan
radi-asinya akan hilang seiring selesainya ia bertugas. Masa paruh radioaktif
untuk terapi itu sekitar dua hari. Sedangkan untuk diagnosis, waktu paruhnya
sekitar dua hingga enam jam.
Sistem ini sudah dirancang sedemikian rupa sehingga tak
memberikan efek farmakologis di tubuh. Ini berbeda dengan obat yang memberikan
efek samping. "Toksisitasnya ada pada tingkat aman untuk terapi
radiofarmasi, dan sudah kita uji toksisitas. Tingkatnya adalah di bawah LD
(lethal dosis) 50," ujar Mutalib.
Selain tak ada efek farmakologis, radiofarmaka juga
memiliki efek fisiolo-gis. Jika dengan kemoterapi, pasien akan mengalami
beberapa efek fisiolo-gis, seperti mual, rambut rontok, kulit menghitam, dan
lain-lain. Sedangkan radiofarmaka, menurut dia, tak memberikan efek seperti
kemoterapi dan pengaruhnya sangat minimal.Bila menjalani radiofarmasi, pasien
tak perlu dibius karena radiasinya yang kecil. Alat deteksinya purvsangat
sensitif sehingga radioaktif yang digunakan pun cukup hanya dalam jumlah
sedikit.
0 komentar:
Posting Komentar