Pages

Senin, 20 Juni 2011

Implikasi Manajemen Moneter Kapitalisme



Dengan di-demonetesinya emas oleh Amerika Serikat merupakan masa berakhirnya Bretton Woods System dan merupakan awal mula dari fully-fledged managed money standard yang sama sekali tidak terkait dengan nilai emas.[1] Dengan sistem managed money yang berlaku sekarang tidak mengharuskan disiplin moneter yang ketat, sehingga memungkinkan bagi negara untuk memiliki defisit anggaran. Konsekwensi dari hal tersebut, sejak berlakunya managed money standart terlihat dua fenomena utama yang terjadi, yaitu tingginya tingkat inflasi dan tidak stabilnya nilai tukar. Sebagaimana diketahui uang merupakan alat ukur yang penting dalam kehidupan karena penurunan nilai riil dari pada uang akan memiliki efek buruk bagi kehidupan sosial ekonomi dan tingkat kesejahteraan masyarakat. Stabilitas nilai dari pada mata uang merupakan prioritas utama dalam kegiatan manajemen moneter, karena stabilitas tersebut yang tercermin dari stabilitas tingkat harga sangat berpengaruh terhadap realisasi pencapaian tujuan pembangunan ekonomi suatu negara, seperti pemenuhan kebutuhan dasar, pemerataan distribusi pendapatan dan kekayaan, tingkat pertumbuhan ekonomi riil yang optimum, perluasan kesempatan kerja dan stabilitas ekonomi. Sehingga kegiatan manajemen moneter harus memiliki kontribusi yang positif terhadap pencapaian dari tujuan-tujuan tersebut diatas.

Pembahasan manajemen moneter mencakup money demand dan money supply karena equibilirium dari kedua hal tersebut sangat penting dalam menciptakan ekonomi yang kondusive dalam rangka pencapaian tujuan-tujuan ekonomi yang disebutkan terlabih dahulu. Money demand dipengaruhi oleh berbagai variabel seperti interest rate, output total, transaksi total, pendapatan, pendapatan permanent, kekayaan, tingkat upah, tingkat inflasi yang diharapkan, perubahan-perubahan kelembagaan, dan inovasi di bidang keuangan. Kesemua variabel tersebut sangat penting, namun dalam pembahasan ini hanya difokuskan pada dampak dari interest rate sebagai harga bagi financial intermediary dalam bertransaksi dan sejauh mana penggunaan harga tersebut dapat mempengaruhi pencapaian tujuan – tujuan yang ingin dicapai.
Dengan menggunakan model keynes, permintaan akan uang berdasarkan tiga motive sebagai berikut:
·         Sebagai medium of exchange untuk membiayai transaksi-transaksi yang dilakukan rumah tangga, perusahaan-perusahaan dan pemerintah guna memenuhi kebutuhan konsumsi, investasi, import dan eksport (transaction motive)
·         Sebagai alat untuk menanggulangi hal-hal yang tidak diperkirakan sebelumnya (precautionary motive)
·         Sebagai alat untuk mengambil keuntungan dari kegiatan-kegiatan spekulasi pada pasar komoditi, mata uang asing dan keuangan ( spekulative motive)[2].

            Namun tidak semua rumah tangga, perusahaan maupun pemerintah memiliki cukup dana untuk membiayai motive-motive tersebut, sebagian merupakan deficit spending unit dan sebagian lagi surplus spending unit. Interaksi dari kedua unit tersebut dan adanya money supply menentukan tingkat suku bunga, yang pada gilirannya suku bunga tersebut berpengaruh terhadap permintaan akan uang untuk memenuhi ketiga motive tersebut.
            Dalam Keynesian approach permintaan riil akan uang ditentukan atau dipengaruhi oleh riil output total (y) dan tingkat suku bunga (r) yang tercermin dalam persamaan berikut :
·         Output total (y) memiliki peengaruh positif terhadap Md/P, sedangkan tingkat suku bunga berpengaruh negatif terhadap permintaan uang riil. Dalam pembahasan pengaruh tingkat suku bunga kali ini akan ditinjau sampai sejauh mana dampak tingkat suku bunga pada berbagai komponen permintaan uang (chart terlampir), khususnya pemenuhan kebutuhan dasar dan investasi yang produktif, yang mana kedua komponen tersebut merupakan bagian penting dari pencapaian tujuan-tujuan pembangunan ekonomi suatu negara.[3]
            Pada tingkat money supply tertentu, bila permintaan akan uang untuk spekulative dan precaotionary motives ( yang tidak untuk mengantisipasi misfortune/bencana) meningkat maka ketersediaan uang untuk keperluan transaksi akan berkurang. Hal ini dapat mengakibatkan berkurang atau bahkan terganggunya kebutuhan uang bagi transaksi –transaksi untuk memenuhi kebutuhan pokok daan kegiatan investasi yang produktive karena dana yang ada dialokasikan pada conspicuous consumption (konsumsi barang lux, barang yang hanya untuk status symbol dan pengeluaran yang tidak untuk memenuhi kebutuhan dasar) dan investasi yang tidak produktive.[4] Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa bila ekonomi memiliki kemampuan untuk mengurangi permintaaan uang untuk speculative dan precoutionary motives serta untuk conspicuous consumption dan investasi yang tidak produktive, diharapkan permintaan uang dapat lebih digunakan untuk pemenuhan kebutuhan dasar dan kegiatan investasi produktive sehingga tercipta iklim ekonomi yang non-inflationary yang memudahkan pencapaian tujuan-tujuan tersebut di atas. Di sisi lain bila permintaan uang meningkat untuk semua motives, dimungkinkan akan terjadinya  ketidakseimbangan makro ekonomi, meningkatnya suku bunga dan adanya tekanan inflasi. Dalam keadaan perekonomian yang sedemikian rupa, kegiatan menabung dan investasi akan menurun yang dapat mengakibatkan penurunan pertumbuhan ekonomi, dan meningkatnya unemployment rate.
            Selanjutnya money demand yang kondusive terhadap pencapaian tujuan-tujuan ekonomi haruslah efesien dan fair, sedangkan money demand yang tidak memberikan konstribusi pada pencapaian tujuan-tujuan tersebut merupakan money demand yang tidak esensial dan produktive. Meningkatnya kecendrungan untuk mendahulukan money demand yang tidak  esensial dan produktive akan mengakibatkan sulitnya pencapaian tujuan-tujuan ekonomi. Strategi terbaik dalam manajemen moneter adalah menciptakan money demand yang efesien dan fair serta terciptanya equibilirium yang tanpa tekanan inflasi dari money supply. Dikarenakan money supply cenderung dipengaruhi oleh money demand, maka yang lebih penting dalam manajemen moneter adalah bagaimana mengelola (mange) money demand yang efesien dan fair.[5]
            Seandainya ada keyakinan bahwa money demand telah dikelola dengan efesien dan fair dalam perekonomian dunia, maka tidak lagi diperlukan pembahasan mengenai alternatife manajemen moneter yang berbeda dengan yang berlaku pada saat ini. Namun menurut Enzler Conrad dan Johnson (1981) menemukan bukti bahwa di Amerika Serikat terjadi misaalokasi sebagai berikut : the existing capital stock is misllocated-problaly seriously-among sectors or the economi and types of ccapital. Misalokasi tersebut juga mungkin tidak hanya di alami oleh Amerika Serikat, namun juga negara-negara lain.
            Berbagai macam alasan bisa diajukan mengapa misalokasi tersebut terjadi, namun menurut Umer Charpa[6] (1996) penyebab utama adalah interest rate. Menurut beliau hampir semua agama termasuk Hindu, Yahudi, Kristen dan Islam melarang penggunaan interest rate dalam bertransaksi karena penggunaan interest rate dalam alokasi money supply untuk berbagai komponen money demand merupakan penyebab utama terjadinya misalokasi dana. Maka pada kesempatan ini akan dibahas bagaimana interest rate berpengaruh terhadap pencapaian tujuan-tujuan pemenuhan kebutuhan dasar, pertumbuhan ekonomi yang optimum, perluasan kesempatan kerja, pemerataan distribusi pendapatan dan stabilitas ekonomi.
            Pemenuhan kebutuhan dana bagi deficit spending unit melalui penyaluran kredit dengan tingkat suku bunga tertentu yang berdasarkan kemampuan peminjam memberikan jaminan kredit guna meng-cover pinjaman yang diberikan dan kecukupan cash flow untuk memenuhi kewajiban tersebut. Kedua syarat ini yang menjadi dasar utama penyaluran kredit sedangkan kriteria 5 Cs tidak menjadi hal yang penting. Dikarenakan hal tersebut, dana akan mengalir cenderung kepada golongan orang kaya yang umumnya mampu memenuhi kedua syarat tersebut dan juga pemerintah yang diasumsikan tidak akan mengalami kebangkrutan. Namun, golongan kaya umumnya memanfaatkan dana tersebut tidak hanya untuk investasi yang produktive, tetapi juga untuk conspicuous consumption dan spekulasi, sedangkan pemerintah menggunakan dana tidak hanya untuk pembangunan dan kesejahteraan masyarakat, tetapi juga untuk pengeluaran yang berlebihan di sektor pertahanan dan perusahaan-perusahaan pemerintah yang tidak menguntungkan.
            Keadaan ini mengakibatkan cepatnya ekspansi money demand untuk keperluan yang tidak produktive dan pengeluaran-peneluaran yang tidak bermanfaat, juga hal ini berpengaruh terhadap ketidak seimbangan makro ekonomi dan eksternal dan selain dari pada itu hal ini memperkecil ketersediaan dana untuk pemenuhan kebutuhan dasar dan pembangunan. Peningkatan interest rate tidak hanya mempengaruhi kegiatan investasi yang tidak produktive dan pengeluaran yang tidak bermanfaat, tetapi juga mempengaruhi kegiatan konsumsi untuk kebutuhan dasar yang akhirnya cenderung mengakibatkan semakin sulitnya kehidupan golongan miskin. Fenomena seperti inilah yang dapat menjelaskan mengapa Amerika Serikat yang termasuk dalam kelompok negara kaya dengan resources yang berlimpah namun tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok/mendasar semua rakyatnya.[7]
            Salah satu masalah yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi dunia dan perluasan kesempatan kerja tidak berlangsung dengan optimum adalah menurunnya tingkat tabungan masyarakat ketika kebutuhan untuk investasi meningkat dengan pesat.
            Di negara-negara OECD gross saving sebagai persentase dari GDP menurun dari 25.2% pada tahun 1973 menjadi 21,2% pada tahun1993 (The World Bank, World Tables, 1995). Penurunan tabungan tersebut juga terjadi pada negara-negara yang berkembang yang sebenarnya membutuhkan lebih banyak lagi tabungan untuk percepatan pembangunan, yaitu dari 26% menjadi 23,5% pada periode yang sama (IMF, International Fianancial Statistics, 1995 Yearbook).[8] Salah satu penyebab utama menurunnya tabungan masyarakat adalah meningkatnya konsumsi masyarakat yang dibiayai oleh kredit yang berdasarkan collateral dan interest rate. Sehingga memungkinkan masyarakat dapat mengkonsumsi lebih dari pendapatan yang diperolehnya.
            Selanjutnya akibat dari menurunnya tabungan masyarakat mengakibatkan meningkatnya interest rate dan rendahnya tingkat investasi, menurunnya pertumbuhan ekonomi dan perluasan kerja. Pada tahun 1994 tingkat pengangguran pada negara-negara OECD menjadi 8,1% yang hampir mendekati tiga kali dari tingkat pengangguran pada tahun 1971-1973 yang hanya 2,9% (OECD, Desember 1995).[9] Dengan keadaan yang sedemikian rupa ditambah lagi keterbatasan anggaran dan ancaman inflasi, maka dapat dibayangkan bahwa harapan pencapaian pertumbuhan ekonomi yang tinggi yang diperlukan untuk perluasan kerja pada negara-negara barat tidaklah begitu cerah. Hanya dengan penurunan deficit anggaran dan penurunan pengeluaran masyarakat yang tidak bemanfaat yang disertai dengan peningkatan tabungan dan investasi disektor-sektor yang produktive yang dapat membuat harapan tersebut menjadi kenyataan.
            Namun harapan akan tetap tinggal harapan bila sistem nilai masyarakat yang berlangsung pada sector public dan private masih memungkinkan pola konsumsi yang berlebihan yang membuat mereka hidup melampaui dari apa yang diperolehnya. Pola konsumsi yang sedemikian rupa memungkinkan, karena ketersediaan kredit dari financial intermediation yang berdasarkan interest rate yang tidak peduli kredit tersebut digunakan untuk apa.
            Tidak meratanya alokasi dana pada sistem keuangan yang berdasarkan interest rate telah disadari oleh peneliti. Menurut Bigsten (1987) the distribution of capital is even more unequal than that of land dan the banking system tends to reinforce the unequal distribution of capital.[10] Alasan yang utama adalah seperti telah dijelaskan diatas adalah financial intermediation yang berdasarkan interest rate yang sangat tergantung pada collateral dan kurang memperhatikan kelayakan proyek dan pemafaatan dari pada dana yang disalurkan. Yang pada akhirnya dana yang berasal dari berbagai lapisan masyarakat mengalir hanya pada golongan kaya. Selanjutnya, menurut Mishan (1971): Given that differences in wealth are substantial, it would be irrational for the lender to be willing to lend as much to the impecunious as to the richer members of society, or to  lend the same amounts on the same terms to each[11]. Sehingga apa yang dilakukan perbankan adalah menyalurkan pinjaman terutama kepada individu-individu atau perusahaan-perusahaan yang memiliki collateral yang cukup, seperti yang diamati oleh Lester Thurow (1980) largeinternal savings, regardless of whether they are earning above average rates of return on their investment, yang pada akhirnya menciptakan winners are, as in lottery, lucky rather than smart meritocratic[12]. Bahkan menurut Morgan Guarantee Trust Company yang termasuk dalam enam bank besar di Amerika Serikat telah mengakui bahwa sistem perbankan telah gagal untuk finance either maturing smaller companies or venture capitalists, and though awash with funds, is not encouraged to deliver competitively priced funding to any but the largest, most cash-rich comapies. Sehingga dapat disimpulkan bahwa perilaku lembaga-lembaga keuangan yang berdasarkan interest rate cenderung membuat semakin tidak meratanya distribusi pendapatan dan kekayaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar